Pendidikan Karakter

Konsep Pendidikan Karakter Dalam Al-Qur’an Surat Luqman Ayat 12-14



 "GURU DIBAYAR MURAH UNTUK MEMBANGUN AKHLAK
ARTIS DIBAYAR MAHAL UNTUK MENGHANCURKAN AKHLAK"
seperti ini kah????
Di era globalisasi ini sering dijumpai sejumlah tindakan amoral dan jauh dari nilai-nilai luhur tujuan pelaksanaan pendidikan. Misalnya tawuran antar pelajar, beredarnya video mesum yang pelakunya pelajar, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, seks bebas yang beralasan Ujian Nasional, dan lainnya. Hal tersebut dikarenakan pendidikan masih sebatas rutinitas penjejalan materi kepada siswa (transfer of knowledge). Maka urgen untuk menerapkan sebuah konsep pendidikan yang baru. Konsep pendidikan yang memanusiakan manusia dengan penyeimbangan aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif. Konsep ini kemudian secara luas disebut sebagai konsep pendidikan karakter. Lalu bagaimanakah sebenarnya konsep pendidikan karakter dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-14??.

Konsep pendidikan karakter dari segi materi yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-14 dapat disimpulkan yaitu karakter syukur, karakter iman, dan karakter berbakti kepada kedua orang tua. Karakter tersebut secara umum dapat disebut sebagai karakter religius.


A. Latar Belakang
Era globalisasi telah membawa dampak luas di belahan bumi mana pun, tak terkecuali di negeri Indonesia. Dampak globalisasi diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatif memiliki konsekuensi yang seimbang. Kompetisi, integrasi, dan kerjasama adalah dampak positif globalisasi. Sedangkan dampak negatif antara lain lahirnya generasi instan, dekadensi moral, konsumerisme, bahkan permisifisme (Jamal Ma’mur Asmani, 2012: 7). Selain itu dampak negatif lainnya adalah muncul tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, seks bebas, dan kriminalitas. Semua hal negatif tersebut berujung pada hilangnya karakter bangsa (Barnawi & M. Arifin, 2013: 5).
Mengutip permisalan dari Azyumardi Azra (2002: 172-173) gaya hidup hedonistik dan permisif di era globalisasi sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran televisi Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumah tangga. Akibatnya banyak anak tidak memiliki kebajikan dan inner beauty dalam karakternya, namun mengalami kepribadian terbelah (split personality). Marijan (2012: 85) mengungkapkan hal tersebut juga berdampak terhadap banyaknya anak yang tidak patuh kepada orang tua, secara frontal dapat dicontohkan seorang anak tega menghabisi orang tuanya gara-gara permintaan sebuah sepeda motor yang tidak dituruti. M. Hariwijaya (2010: 18) menambahkan fenomena anak yang sering membantah dan berkeinginan menguasai orang dewasa tersebut dapat menjadi candu layaknya narkoba.
Jika dilihat dalam konteks pendidikan banyak perilaku tidak bermoral terjadi, antara lain kasus tawuran antar pelajar di beberapa sekolah, beredarnya video mesum yang pelakunya adalah siswa, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya, bahkan beberapa remaja putri rela menjual “kegadisan” demi untuk membeli handphone (HP), membeli pakaian bagus atau mentraktir teman. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2003) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks (Agus Wibowo, 2012: 8-9). Kasus lain berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2008 pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,2 juta orang. Dari jumlah ini 32% adalah pelajar dan mahasiswa (Agus Wibowo, 2012: 9-10).
Lebih lanjut menanggapi fenomena di atas Azyumardi Azra (2002: 178) menjelaskan bahwa kondisi tersebut menggambarkan tentang pentingnya gagasan tentang diskursus pendidikan budi pekerti atau karakter untuk direkonseptualisasi kembali. Karena terlihat pendidikan nasional pada setiap jenjang, khususnya jenjang menengah dan tinggi “telah gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Pendidikan semakin urgen untuk diperhatikan, terutama pendidikan karakter bangsa. Pendidikan adalah sebagai modal dasar bagi peserta didik untuk menghadapi dunianya kelak. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang utuh dan menyeluruh dengan mengedepankan tiga aspek penting yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif. Pendidikan perlu aplikatif memanusiakan manusia dengan tidak menitikberatkan pada penguasaan satu aspek saja namun berimbang dan saling melengkapi, terutama aspek pengembangan dan internalisasi karakter.
Sesuai paparan di atas maka menarik bagi penulis untuk melaksanakan penelitian tentang konsep pendidikan karakter dalam Al-Qur’an melalui sebuah skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Karakter Dalam Al-Qur’an Surat Luqman Ayat 12-14”. Walaupun terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan karakter, namun penulis memfokuskan penelitian pada surat Luqman ayat 12-14 karena ayat ini mewakili pembahasan ayat yang memiliki keterkaitan makna paling dekat dengan konsep pendidikan karakter.
 B. Kajian Teori
  1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam upaya mengembangkan segala potensi manusia untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, dan akhlak mulia sehingga tumbuh dewasa dan sempurna sebagai bekal yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.
      Secara bahasa karakter berasal dari bahasa Yunani karasso yang berarti cetak biru, format dasar, atau sidik seperti dalam sidik jari. Pendapat lain menyatakan berasal dari kata charassein yang berarti membuat tajam atau membuat dalam. Secara istilah karakter dipahami sebagai kondisi rohaniah yang belum selesai. Sehingga memungkinkan untuk dibentuk dan dikembangkan menjadi lebih baik. Agar kondisi rohaniah menjadi lebih baik dibangun melalui kesadaran dalam diri individu.
Dari pengertian tentang pendidikan dan karakter di atas dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan karakter adalah serangkaian usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana sehingga memunculkan kesadaran dalam diri individu untuk mengembangkan segala potensi manusia sehingga memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, dan akhlak mulia menuju kedewasaan dan kesempurnaan sebagai bekal yang diperlukan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  1. Landasan Pendidikan Karakter
 Secara filosofis pendidikan karakter merupakan kajian ilmu yang paling rasional dan aktual karena membahas tentang tingkah laku manusia yang tidak lekang oleh perubahan zaman. Selain itu pendidikan karakter memiliki landasan normatif, menurut Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani (2013: 54) antara lain: a) Berasal dari ajaran Agama Islam, yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, berlaku pula untuk ajaran agama lainnya yang banyak dianut manusia. b) Adat kebiasaan atau norma budaya. c) Pandangan-pandangan filsafat yang menjadi pandangan hidup dan asas perjuangan suatu masyarakat atau suatu bangsa. d) Norma hukum yang telah diundangkan oleh Negara berbentuk konstitusi, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat memaksa dan mengikat akhlak manusia.
      Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan karakter memiliki landasan filosofis dan normatif sebagai pijakan dalam operasionalnya. Hal ini mengingat bahwa karakter merupakan pengetahuan yang memikirkan hakikat kehidupan manusia dalam bertingkah laku, sehingga diperlukan landasan sebagai pedoman dalam berinteraksi dan berasosiasi.
  1. Urgensi Pendidikan Karakter
Arnold Toynbee, sejarawan ternama, pernah mengungkapkan dari dua puluh satu peradaban dunia yang dapat dicatat, sembilan belas hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena pembusukan moral dari dalam yaitu karena lemahnya karakter. Pernyataan Arnold tampaknya telah lama disadari para founding father bangsa Indonesia, jauh-jauh hari para genius pendiri bangsa Indonesia telah menyadari betapa urgen pembangunan karakter. Hal ini terlihat dari lagu kebangsaan Indonesia Raya, di dalam lirik lagu tersebut ditandaskan pentingnya perintah untuk “bangunlah jiwanya” baru kemudian “bangunlah badannya”. Seruan ini mengisyaratkan pesan bahwa membangun jiwa lebih diutamakan daripada membangun badan, membangun karakter mesti lebih diperhatikan daripada sekadar membangun hal-hal fisik semata (Saptono, 2011: 16-17).
Yudi Latif (2009: 88) menegaskan bahwa pentingnya membangun jiwa (karakter) harus disertai pengetahuan dan pemahaman tentang moral atau karakter itu sendiri. Hal ini dipahami bahwa pertautan pengetahuan moral (moral judgement) dengan perilaku aktual (actual conduct) dalam situasi konkret (moral situations) adalah benar bahwa pengetahuan dan pemahaman moral adalah prasyarat bagi munculnya tindakan moral.
Pada intinya pendidikan karakter sangat urgen diimplementasikan sebagai upaya pembentukan insan kamil yang memiliki kepekaan sosial, akhlak karimah, dan mampu berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang damai dan kondusif serta bangsa yang maju dan bermartabat. Haedar Nashir (2013: 7) menambahkan pendidikan karakter harus diletakkan secara keseluruhan dengan pembangunan karakter bangsa (nation and character building) dan dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki peran penting sebagai bagian pembangunan bangsa.
  1. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter
Berbicara tentang fungsi dan tujuan pendidikan karakter, hal ini tidak terlepas dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertuang secara apik dan bijaksana dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Termaktub dalam bab II pasal 3 dinyatakan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yag bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dan tujuan pendidikan karakter memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan arah dan sebagai pedoman internalisasi karakter. Dengan fungsi dan tujuan tersebut diikhtiarkan terwujud insan kamil yang mempunyai posisi mulia di sisi Allah SWT. Secara garis besar pendidikan karakter merupakan jalan dalam mewujudkan masyarakat beriman dan bertaqwa yang senantiasa berjalan di atas kebenaran dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan, musyawarah, serta nilai-nilai humanisme yang mulia.
  1. Nilai Pendidikan Karakter
Dalam bentuk operasional pada pendidikan formal maka berdasarkan identifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter yang merupakan kajian empirik Pusat Kurikulum maka untuk memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter dirumuskan menjadi 18 nilai yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai tersebut yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut secara teknis dituangkan dalam pembelajaran melalui rencana pelaksanaan pembelajaran yang terintegrasi ke dalam seluruh mata pelajaran (Daryanto & Suryatri Darmiatun, 2013: 47).
      Sedangkan dalam perspektif Islam karakter unggul dan mulia digambarkan dengan akhlak Nabi Muhammad SAW yang termanifestasi dalam semua perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi. Akhlak unggul Nabi antara lain; benar (ash-shidq), cerdas (al-fathanah), amanah (al-amanah), menyampaikan (at-tabligh), komitmen yang sempurna (al-iltizam), berakhlaq mulia (‘ala khuluqin ‘azhiim), dan teladan yang baik (uswatun hasanah) (Tim P3KMI, 2012: 42). Sehingga Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi paripurna sebagai teladan bagi seluruh umat Islam. Karakter mulia tersebut juga tercermin ke dalam perangai Nabi, Rosul, dan orang saleh sebelum Nabi Muhammad. Juga pada sikap para sahabat, tabi’in, ulama, dan tokoh yang senantiasa mengikuti jalan kebenaran yang telah digariskan Allah SWT.
  1. Prinsip Pendidikan Karakter
Suksesi pendidikan karakter berdasar prinsip bergantung kepada semua elemen pendidikan, dari individu secara pribadi, keluarga, seluruh personel sekolah, dan masyarakat. Tanpa adanya sinergi dari semua elemen, pendidikan karakter sulit terrealisasikan. Zainal Aqib (2011: 34-36) menguraikan prinsip yang berbeda sebagai langkah awal dari membangun karakter, hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan rumus 5 + 3 + 3 atau 11 kebiasaan sebagai berikut:
  1. Lima sikap dasar
  • Membangun sikap dasar dan tulus dengan berani mengatakan apa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
  • Sikap yang terbuka yang merefleksikan kebersihan luar dalam;
  • Berani mengambil resiko dan bertanggungjawab yang ditunjukkan dengan membela kebenaran dan keadilan;
  • Konsisten terhadap komitmen dengan selalu menepati janji, perkataan harus sesuai dengan perbuatan;
  • Sikap bersedia berbagi (sharing) yang menampilkan mentalitas berkelimpahan (abundance mentality).
  1. Tiga syarat
  • Dengan niat yang bersih untuk mengawali setiap pekerjaan (nawaitu);
  • Tidak mendahului kehendak Tuhan agar apa yang kita rencanakan mendapat ridho-Nya;
  • Bersyukur kepada-Nya atas hasil apa pun yang kita dapat, baik yang kita senangi maupun yang tidak kita senangi dan inginkan.
  1. Tiga cara
  • Mencanangkan hasrat untuk berubah melalui doa dan ibadah, karena hakikat dari doa adalah tuntunan terhadap diri sendiri untuk mewujudkan perubahan;
  • Mewujudkan perubahan dengan memanfaatkan empat anugerah Ilahi pada manusia (self awarness, consciousness, imagination, dan independent will);
  • Siap menjadi suri tauladan dalam menjalani amanah Tuhan, yaitu manusia sebagai khalifah di muka bumi. Menjadi khalifah tidak dimungkinkan tanpa memberi suri tauladan.
Dari rumus di atas dapat dijelaskan lima sikap dasar merupakan awal dari pembangunan karakter dan jati diri kita. Kemudian dari lima dasar tersebut yang telah memenuhi tiga syarat agar menjadi satu kesatuan yang utuh harus dilakukan secara eksplisit dengan melengkapi tiga cara. Setelah semua terpenuhi akan terwujud insan kamil yang berkepribadian dan berakhlak karimah. Insan tersebut bertugas menjalankan amanah dari Allah SWT sebagai khalifah yang mengelola dan memakmurkan bumi.
        Prinsip-prinsip pendidikan karakter adalah sebagai pegangan dan acuan dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Prinsip-prinsip tersebut bukan hal paten, sehingga dapat diubah sesuai dengan tujuan lokalitas masing-masing daerah. Hal yang menjadi tolok ukur adalah prinsip tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan luhur pendidikan karakter.
  1. Jenis Pendidikan Karakter
Terdapat berbagai jenis pendidikan karakter. Jamal Ma’mur Asmani (2012: 64) menyebutkan terdapat empat jenis karakter yang dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu sebagai berikut:
  1. Pendidikan karakter berbasis nilai religius yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral);
  2. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, misalnya berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh sejarah, dan lainnya;
  3. Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan);
  4. Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis).
Sedangkan dalam terma Islam, secara definitif karakter memiliki makna yang hampir sama dengan akhlak. Dalam perspektif ilmu, menurut Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani (2013: 81) karakter terbagi menjadi empat macam yaitu:
  1. Karakter falsafi atau karakter teoritis, yaitu menggali kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara mendalam, rasional, dan kontemplatif untuk dirumuskan sebagai teori dalam bertindak;
  2. Karakter amali, artinya akhlak praktis, yaitu akhlak dalam arti yang sebenarnya, berupa perbuatan atau sedikit bicara, banyak bekerja;
  3. Karakter fardhi atau akhlak individu, yaitu perbuatan seorang manusia yang tidak terkait dengan orang lain;
  4. Karakter kelompok atau akhlak jamaah, yaitu tindakan yang disepakati bersama-sama, misalnya akhlak organisasi, partai politik, masyarakat yang normatif, dan lainnya.
        Pembagian jenis-jenis pendidikan karakter tersebut menjadikan pendidikan senantiasa hidup di level individu, kelompok, sosial, lingkungan, peradaban, dan agama. Pembagian jenis karakter bertujuan untuk memudahkan dalam pemahaman pendidikan karakter. Jenis karakter di atas didasarkan pada sumber karakter, tinjauan filsafat ilmu, dan tinjauan ilmu akhlak. Terdapat berbagai jenis pembagian karakter yang lain yang tidak dicantumkan dalam penelitian ini.
  1. Peran Pendidikan Karakter
Terdapat beberapa elemen penting yang berperan dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Antara lain keluarga, semua komponen sekolah, pemimpin, dan media massa. Keluarga berperan sebagai basis pendidikan karakter, keluarga merupakan komunitas pertama yang mengajarkan manusia sejak dini tentang baik buruk, pantas tidak pantas, dan benar salah. Keluarga merupakan rumah pertama seorang manusia belajar tata nilai atau moral. Pada keluarga inti, peran utama dipegang oleh ayah ibu sebagai modelling karakter anak. Philips menegaskan keluarga hendaknya menjadi sekolah untuk kasih sayang (school of love) yaitu tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Dari uraian di atas diketahui bahwa keluraga berperan sebagai pondasi awal internalisasi karakter. Hal ini diamini oleh Nurla Isna Aunillah (2011: 161) yang mengungkapkan bahwa orang tua harus mengupayakan agar rumah benar-benar terasa sebagai sekolah bagi anaknya. Sehingga tercipta suasana yang mendukung anak mendapatkan pengetahuan yang berguna bagi dirinya.
Menilik berbagai pandangan di atas pendidikan karakter mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak, pembiasaan, dan pemahaman peserta didik terhadap perilaku yang baik dan terpuji. Melihat urgennya peran tersebut, maka model pendidikan karakter perlu diarahkan tidak sekedar mengenalkan berbagai aturan dan definisinya, namun lebih menekankan pada sikap, attitude, dan tanggung jawab. Peran pendidikan karakter ini dapat berjalan dengan baik dan maksimal apabila didukung seluruh komponen, utamanya keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak.
  1. Manfaat Pendidikan Karakter
Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani (2013: 92-93) menyebutkan beberapa manfaat pendidikan karakter adalah sebagai berikut:
  1. Meningkatkan amal ibadah yang lebih baik dan khusyuk serta lebih ikhlas;
  2. Meningkatkan ilmu pengetahuan untuk meluruskan perilaku dalam kehidupan sebagai individu dan anggota masyarakat;
  3. Meningkatkan kemampuan mengembangkan sumber daya diri agar lebih mandiri dan berprestasi;
  4. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi, melakukan silaturahmi positif, dan membangun ukhuwah atau persaudaraan dengan sesama manusia dan sesama muslim;
  5. Meningkatkan penghambaan jiwa kepada Allah yang menciptakan manusia, alam jagat raya beserta isinya;
  6. Meningkatkan kepandaian bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya tanpa batas dan tanpa pilih bulu;
  7. Meningkatkan strategi beramal saleh yang dibangun oleh ilmu yang rasional, yang membedakan antara orang-orang yang berilmu dengan orang yang taklid karena kebodohannya.
      Demikian begitu besar manfaat dari pendidikan karakter yang secara keseluruhan dapat diambil benang merah yaitu untuk mengantarkan manusia menjadi insan kamil. Untuk mewujudkan insan kamil, nilai-nilai yang dianut bersama dan menjadi komitmen yang kuat bersumber dari agama, norma sosial, peraturan atau hukum yang dipadukan dengan nilai budaya lokal. Kemudian secara total mengikat kehidupan batiniah sosial yang terungkap secara integral dalam proses pendidikan karakter.
 C. Pendidikan Karakter dalam Q.S Luqman 12-14
Ada beberapa poin dari unsur-unsur pendidikan karakter dari segi materi yang dapat disimpulkan dari Al-Qur’an Surat Luqman ayat 12-14. Karakter tersebut terangkum dalam karakter religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Pupuh Fathurrohman, dkk, 2013: 19). Dalam hal ini yang ditekankan adalah pada sikap dan perilaku patuh melaksanakan ajaran agama yang dianut. Secara detail dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Karakter Syukur
Karakter syukur tersebut dalam surat Luqman ayat 12 yaitu pada makna anisykur yang merupakan salah satu penjelasan dari hikmah. Karena di antara hikmah yang diberikan adalah mensyukuri apa yang telah diberikan Allah. Syukur merupakan salah satu karakter utama yang perlu dimiliki manusia, sebagai salah satu karakter, syukur merupakan sikap yang perlu dikembangkan dan dibiasakan, karena merupakan kondisi batiniah yang belum selesai sehingga senantiasa perlu diasah dan dibiasakan.
Syukur terambil dari kata syakara yang maknanya berkisar antara lain pada pujian atas kebaikan, serta penuhnya sesuatu. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa syukur mengantarkan seseorang senantiasa merasa puas dan ridha terhadap hasil akhir dari segala sesuatu yang diusahakan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pendidikan karakter, yaitu menumbuhkan karakter positif dalam diri individu (Zainal Aqib, 2011: 48). Individu secara obyektif mampu mengakui dan merasa bahwa segala sesuatu sudah digariskan oleh Allah, sehingga menimbulkan konsekuensi syukur. Efek dari syukur ini memunculkan berbagai sikap positif lainnya dalam diri individu. Pernyataan ini dikuatkan dengan tujuan lain pendidikan karakter yaitu membentuk individu dalam suatu bangsa yang tangguh, berakhlak mulia, toleran, bermoral, berorientasi IPTEK yang dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Daryanto & Suryatri Darmiatun, 2013: 45).
Syukur juga dipahami sebagai wujud rasa terima kasih kepada Tuhan dengan perilaku yang semakin meningkatkan iman dan taqwa atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 123). Adapun realisasi pengamalan dari karakter syukur dapat dilakukan melalui amal yang berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan lainnya. Syukur dengan hati adalah dengan meluruskan niat baik terhadap segala sesuatu yang dikerjakan. Syukur dengan lisan adalah berikrar memuji kebesaran Allah dan mengucapkan perkataan yang mulia. Syukur dengan anggota badan adalah dengan memanfaatkan nikmat itu untuk taat dan taqwa kepada Allah dan memohon perlindungan dari perbuatan maksiat (Abdullah Al-Ghamidi, 2011: 81).
Syukur merupakan nilai pendidikan karakter yang bersifat universal. Karena syukur mampu menyentuh semua aspek, meliputi syukur hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa, serta alam sekitar (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 47). Penjelasan ini sejalan dengan salah satu manfaat pendidikan karakter yaitu meningkatkan kepandaian seorang manusia atau individu untuk bersyukur dan berterimakasih kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan dan meningkatkan kemampuan mengembangkan sumber daya diri (Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani, 2013: 92-93). Aplikasi dari pengembangan sumber daya diri adalah mampu bersikap dan bertindak untuk kemaslahatan.
2. Karakter Iman
Karakter yang dikembangkan dalam surat Luqman selanjutnya yaitu pada ayat 13 tentang makna inna al-syirka la zhulmun al-azhim yang artinya mempersekutukan Allah merupakan kezaliman yang besar. Ayat ini menekankan pentingnya keimanan sebagai pondasi utama setiap manusia. Sehingga setiap manusia muslim diwajibkan mempercayai dengan sepenuh hati adanya Allah SWT. Perbuatan tidak mempercayai atau mempersekutukan Allah disebut syirik, syirik adalah perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya, seperti patung, pohon besar, batu, dan lainnya. Mempersekutukan Allah dikatakan kezaliman yang besar, karena perbuatan itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebagai umat Islam telah diketahui bahwa tauhid merupakan asas puncak dan tertinggi dalam Islam, sehingga perbuatan mengingkari tauhid dengan menyekutukan Allah merupakan dosa besar yang tidak dapat ditolerir, kecuali dengan taubat yang sebenar-benarnya (taubatan nasuha).
Berkenaan dengan syirik, terdapat dua macam. Pertama, syirik besar, syirik besar mampu mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat daripadanya. Kedua, syirik kecil, syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar. Syirik dalam kaitannya dengan amal perbuatan adalah laksana api bagi kayu. Syirik mengurangi dan menggugurkan segala amal.
Salah satu landasan normatif pendidikan karakter adalah berasal dari kitab suci suatu agama. Dalam konteks agama Islam, Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman dan rujukan utama dalam bertingkah laku (Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani, 2013: 54). Larangan mempersekutukan Allah dalam Islam mutlak ditaati dan dilaksanakan karena merupakan perintah dan ajaran agama sebagai bentuk pengakuan terhadap kekuasaan Allah SWT. Landasan normatif tersebut dibutuhkan mengingat bahwa nilai dan norma tidak bersifat netral tetapi memiliki keperpihakan pada sumber yang lebih tinggi. Demikian pentingnya pendidikan karakter keimanan yang berbasis nilai religius karena merupakan kebenaran wahyu Tuhan atau disebut juga konservasi moral (Jamal Ma’mur Asmani, 2012: 64).
Karakter iman juga dimaknai sebagai kepercayaan yang tinggi terhadap adanya Tuhan Sang Maha Pencipta, dibuktikan dengan berbuat sesuai perintah dan tuntunan-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 122). Karakter keimanan penting sebagai modal dasar manusia agar senantiasa berbuat baik, karena adanya perasaan mendalam dalam diri dan hati tentang adanya pengawasan dari Tuhan terhadap segala perbuatan yang dilakukan. Karakter ini sangat urgen karena mampu membuat seseorang untuk bertahan dan memiliki stamina untuk berjuang dan menghindari tindakan yang mudharat dan tidak bermanfaat.
Pendidikan karakter tentang iman juga menekankan pentingnya monoloyalitas bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah SWT, perbuatan menyembah selain Allah SWT merupakan bentuk kemusyrikan. Novan Ardy Wiyani (2012: 13) mengungkapkan bahwa salah satu karakter yang harus terbentuk dalam perilaku peserta didik adalah peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui olah hati. Iman dan taqwa kepada Tuhan menurut Novan merupakan landasan yang kuat untuk terbentuknya karakter. Dengan iman dan taqwa tersebut akan terukir karakter positif lainnya.
 3. Karakter Berbuat Baik Kepada Orang Tua
Pada ayat 14 surat Luqman ditegaskan tentang karakter yang penting untuk dilaksanakan adalah makna wawashshaina al-insana biwalidaihi yang artinya dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah sebuah keniscayaan, karena tanpa jasa, jerih payah, dan pengorbanan orang tua seorang manusia tidak mungkin terlahir ke bumi. Ikatan pertama setelah tauhid adalah ikatan keluarga. Oleh karena itu, penjelasan tentang kewajiban berbakti kepada orang tua dikaitkan dengan penyembahan terhadap Allah dan peringatan dari syirik untuk memberitahukan pentingnya berbakti kepada orang tua di sisi Allah.
Berbakti kepada kedua orang tua hukumnya wajib dan durhaka kepada keduanya hukumnya haram. Tidak ada yang mengingkari keutamaan orang tua selain orang yang tercela (Ibrahim Abdul Muqtadir, 2008: 63). Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa hijrah hukumnya wajib, tetapi hak kedua orang tua lebih wajib didahulukan atas jihad. Ini berlaku bila seseorang mampu menjaga agamanya saat bersama kedua orang tua. Rasulullah juga menjelaskan berbakti kepada kedua orang tua lebih didahulukan atas jihad, sebab berbakti kepada kedua orang tua hukumnya wajib, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Orang tua merupakan pahlawan yang paling berjasa dalam kehidupan seseorang. Melalui keluarga sebagai pusat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, sangat memerlukan adanya kesinambungan antara peran orang tua dan anak. Orang tua memiliki tanggungjawab untuk mengajarkan tentang nilai dan norma yang berlaku, sehingga mampu terinternalisasi dalam kepribadian, karakter, dan tingkah laku anak. Anak bersikap proaktif untuk mengikuti dan melaksanakan arahan dari orang tua. Orang tua selalu mengedepankan totalitas untuk menjaga anak dan mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan anak.
Salah satu urgensi dari pendidikan karakter adalah sebagai bentuk pembinaan akhlak dan tingkah laku individu (Pupuh Fathurrohman, dkk, 2013: 117). Maka melalui keluarga, individu diarahkan salah satunya mampu menghargai dan berbakti kepada kedua orang tua, terutama ibu. Ibu dalam keadaan lemah telah mengandung selama 9 bulan, dari proses awal kehamilan, kelahiran, sampai hari-hari awal nifas. Selama masa-masa itu merupakan hari-hari yang melelahkan, derita, kecemasan menjadi bukti dahsyatnya perjuangan dan penderitaan yang dialami seoarang ibu sejak awal kehamilan sampai melahirkan. Dilanjutkan dengan berbagai persoalan yang harus dihadapi ketika proses menyusui, merawat, dan mendidik anak sampai dewasa. Sehingga tidak terbantahkan bahwa karakter berbakti kepada kedua orang tua merupakan hal yang urgen untuk diaplikasikan.
Dalam kaitannya dengan berbakti kepada kedua orang tua, juga ditekankan tentang pentingnya karakter menghormati atau menghargai (respect). Karakter ini merupakan sikap menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Hal ini diwujudkan dengan memperlakukan orang lain seperti keinginan untuk dihargai, beradab dan sopan, tidak melecehkan dan menghina orang lain, dan tidak menilai orang lain sebelum mengenalnya dengan baik (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 128). Sebagai wujud karakter berbakti kepada kedua orang tua, maka sikap di atas sebagai pedoman dan acuan untuk mampu respect kepada kedua orang tua.
E. Penutup
Berkenaan konsep pendidikan karakter dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-14, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat empat kandungan penting tentang pendidikan karakter dalam surat Luqman ayat 12-14 sebagai berikut:
a. Penekanan terhadap pentingnya implementasi dari konsep hikmah, yaitu keselarasan atau kesesuaian antara ilmu dan amal.
b. Manusia pada dasarnya diperintahkan untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. Syukur adalah sarana manusia mengenal Allah, adapun efek dari syukur adalah untuk kebaikan diri sendiri.
c. Berisi tentang pentingnya keimanan dan larangan mempersekutukan Allah SWT karena perbuatan menyekutukan Allah SWT disebut kezaliman yang besar disebabkan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
d. Berisi tentang perintah berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama ibu. Dikarenakan selama masa mengandung ibu menahan dengan sabar penderitaan yang berat. Dilanjutkan beban yang ditanggung pada masa menyusui dan mengasuh.
2. Adapun konsep pendidikan karakter dalam Al-Qur’an dari segi materi dalam surat Luqman ayat 12-14 adalah karakter religius yang terdiri dari:
a. Karakter syukur
b. Karakter iman
c. Karakter bebakti kepada kedua orang tua
Semua pihak yang terdiri dari Pemerintah, para pendidik, orang tua, dan pembaca pada dasarnya memiliki tanggungjawab untuk menciptakan generasi yang berkarakter mulia, beradab, dan bermoral. Sehingga diharapkan mampu berperan secara proaktif dalam pembentukan dan internalisasi karakter mulia pada generasi selanjutnya.

Sumber : https://abdulghofur91.wordpress.com/2014/10/17/konsep-pendidikan-karakter-dalam-al-quran-surat-luqman-ayat-12-14-2/

0 komentar:

Posting Komentar