"GURU DIBAYAR MURAH UNTUK MEMBANGUN AKHLAK
ARTIS DIBAYAR MAHAL UNTUK MENGHANCURKAN AKHLAK"
seperti ini kah????
Konsep pendidikan karakter dari segi materi yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-14 dapat disimpulkan yaitu karakter syukur, karakter iman, dan karakter berbakti kepada kedua orang tua. Karakter tersebut secara umum dapat disebut sebagai karakter religius.
A. Latar Belakang
Era globalisasi telah membawa dampak luas
di belahan bumi mana pun, tak terkecuali di negeri Indonesia. Dampak
globalisasi diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatif
memiliki konsekuensi yang seimbang. Kompetisi, integrasi, dan kerjasama
adalah dampak positif globalisasi. Sedangkan dampak negatif antara lain
lahirnya generasi instan, dekadensi moral, konsumerisme, bahkan
permisifisme (Jamal Ma’mur Asmani, 2012: 7). Selain itu dampak negatif
lainnya adalah muncul tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat
terlarang, seks bebas, dan kriminalitas. Semua hal negatif tersebut
berujung pada hilangnya karakter bangsa (Barnawi & M. Arifin, 2013:
5).
Mengutip permisalan dari Azyumardi Azra
(2002: 172-173) gaya hidup hedonistik dan permisif di era globalisasi
sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada
berbagai saluran televisi Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan
dislokasi keluarga dan rumah tangga. Akibatnya banyak anak tidak
memiliki kebajikan dan inner beauty dalam karakternya, namun mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Marijan (2012: 85) mengungkapkan hal tersebut juga berdampak terhadap
banyaknya anak yang tidak patuh kepada orang tua, secara frontal dapat
dicontohkan seorang anak tega menghabisi orang tuanya gara-gara
permintaan sebuah sepeda motor yang tidak dituruti. M. Hariwijaya (2010:
18) menambahkan fenomena anak yang sering membantah dan berkeinginan
menguasai orang dewasa tersebut dapat menjadi candu layaknya narkoba.
Jika dilihat dalam konteks pendidikan
banyak perilaku tidak bermoral terjadi, antara lain kasus tawuran antar
pelajar di beberapa sekolah, beredarnya video mesum yang pelakunya
adalah siswa, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang
lainnya, bahkan beberapa remaja putri rela menjual “kegadisan” demi
untuk membeli handphone (HP), membeli pakaian bagus atau mentraktir
teman. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI,
2003) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14 hingga 18 tahun di
kota-kota besar Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah
berhubungan seks (Agus Wibowo, 2012: 8-9). Kasus lain berdasarkan data
Badan Narkotika Nasional (BNN) hingga tahun 2008 pengguna narkoba di
Indonesia mencapai 3,2 juta orang. Dari jumlah ini 32% adalah pelajar
dan mahasiswa (Agus Wibowo, 2012: 9-10).
Lebih lanjut menanggapi fenomena di atas
Azyumardi Azra (2002: 178) menjelaskan bahwa kondisi tersebut
menggambarkan tentang pentingnya gagasan tentang diskursus pendidikan
budi pekerti atau karakter untuk direkonseptualisasi kembali. Karena
terlihat pendidikan nasional pada setiap jenjang, khususnya jenjang
menengah dan tinggi “telah gagal” dalam membentuk peserta didik yang
memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Pendidikan semakin
urgen untuk diperhatikan, terutama pendidikan karakter bangsa.
Pendidikan adalah sebagai modal dasar bagi peserta didik untuk
menghadapi dunianya kelak. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan
yang utuh dan menyeluruh dengan mengedepankan tiga aspek penting yaitu
kognitif, psikomotorik, dan afektif. Pendidikan perlu aplikatif
memanusiakan manusia dengan tidak menitikberatkan pada penguasaan satu
aspek saja namun berimbang dan saling melengkapi, terutama aspek
pengembangan dan internalisasi karakter.
Sesuai paparan di atas maka menarik bagi
penulis untuk melaksanakan penelitian tentang konsep pendidikan karakter
dalam Al-Qur’an melalui sebuah skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Karakter Dalam Al-Qur’an Surat Luqman Ayat 12-14”. Walaupun
terdapat banyak ayat Al-Qur’an yang memiliki keterkaitan dengan
pendidikan karakter, namun penulis memfokuskan penelitian pada surat
Luqman ayat 12-14 karena ayat ini mewakili pembahasan ayat yang memiliki
keterkaitan makna paling dekat dengan konsep pendidikan karakter.
B. Kajian Teori- Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha
yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam upaya mengembangkan
segala potensi manusia untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan,
dan akhlak mulia sehingga tumbuh dewasa dan sempurna sebagai bekal yang
diperlukan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.
Secara bahasa karakter berasal dari bahasa Yunani karasso yang berarti cetak biru, format dasar, atau sidik seperti dalam sidik jari. Pendapat lain menyatakan berasal dari kata charassein
yang berarti membuat tajam atau membuat dalam. Secara istilah karakter
dipahami sebagai kondisi rohaniah yang belum selesai. Sehingga
memungkinkan untuk dibentuk dan dikembangkan menjadi lebih baik. Agar
kondisi rohaniah menjadi lebih baik dibangun melalui kesadaran dalam
diri individu.
Dari pengertian tentang pendidikan dan
karakter di atas dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan karakter
adalah serangkaian usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana
sehingga memunculkan kesadaran dalam diri individu untuk mengembangkan
segala potensi manusia sehingga memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan,
dan akhlak mulia menuju kedewasaan dan kesempurnaan sebagai bekal yang
diperlukan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
- Landasan Pendidikan Karakter
Secara filosofis pendidikan karakter
merupakan kajian ilmu yang paling rasional dan aktual karena membahas
tentang tingkah laku manusia yang tidak lekang oleh perubahan zaman.
Selain itu pendidikan karakter memiliki landasan normatif, menurut
Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani (2013: 54) antara lain: a)
Berasal dari ajaran Agama Islam, yaitu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
berlaku pula untuk ajaran agama lainnya yang banyak dianut manusia. b)
Adat kebiasaan atau norma budaya. c) Pandangan-pandangan filsafat yang
menjadi pandangan hidup dan asas perjuangan suatu masyarakat atau suatu
bangsa. d) Norma hukum yang telah diundangkan oleh Negara berbentuk
konstitusi, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
bersifat memaksa dan mengikat akhlak manusia.
Berdasarkan uraian di atas dapat
dipahami bahwa pendidikan karakter memiliki landasan filosofis dan
normatif sebagai pijakan dalam operasionalnya. Hal ini mengingat bahwa
karakter merupakan pengetahuan yang memikirkan hakikat kehidupan manusia
dalam bertingkah laku, sehingga diperlukan landasan sebagai pedoman
dalam berinteraksi dan berasosiasi.
- Urgensi Pendidikan Karakter
Arnold Toynbee, sejarawan ternama, pernah
mengungkapkan dari dua puluh satu peradaban dunia yang dapat dicatat,
sembilan belas hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan
karena pembusukan moral dari dalam yaitu karena lemahnya karakter.
Pernyataan Arnold tampaknya telah lama disadari para founding father
bangsa Indonesia, jauh-jauh hari para genius pendiri bangsa Indonesia
telah menyadari betapa urgen pembangunan karakter. Hal ini terlihat dari
lagu kebangsaan Indonesia Raya, di dalam lirik lagu tersebut
ditandaskan pentingnya perintah untuk “bangunlah jiwanya” baru kemudian
“bangunlah badannya”. Seruan ini mengisyaratkan pesan bahwa membangun
jiwa lebih diutamakan daripada membangun badan, membangun karakter mesti
lebih diperhatikan daripada sekadar membangun hal-hal fisik semata
(Saptono, 2011: 16-17).
Yudi Latif (2009: 88) menegaskan bahwa
pentingnya membangun jiwa (karakter) harus disertai pengetahuan dan
pemahaman tentang moral atau karakter itu sendiri. Hal ini dipahami
bahwa pertautan pengetahuan moral (moral judgement) dengan perilaku aktual (actual conduct) dalam situasi konkret (moral situations) adalah benar bahwa pengetahuan dan pemahaman moral adalah prasyarat bagi munculnya tindakan moral.
Pada intinya pendidikan karakter sangat
urgen diimplementasikan sebagai upaya pembentukan insan kamil yang
memiliki kepekaan sosial, akhlak karimah, dan mampu berperan aktif dalam
menciptakan masyarakat yang damai dan kondusif serta bangsa yang maju
dan bermartabat. Haedar Nashir (2013: 7) menambahkan pendidikan karakter
harus diletakkan secara keseluruhan dengan pembangunan karakter bangsa (nation and character building) dan dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki peran penting sebagai bagian pembangunan bangsa.
- Fungsi dan Tujuan Pendidikan Karakter
Berbicara tentang fungsi dan tujuan
pendidikan karakter, hal ini tidak terlepas dari fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang tertuang secara apik dan bijaksana dalam UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Termaktub dalam bab
II pasal 3 dinyatakan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yag bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dan tujuan pendidikan karakter
memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan arah dan sebagai
pedoman internalisasi karakter. Dengan fungsi dan tujuan tersebut
diikhtiarkan terwujud insan kamil yang mempunyai posisi mulia di sisi
Allah SWT. Secara garis besar pendidikan karakter merupakan jalan dalam
mewujudkan masyarakat beriman dan bertaqwa yang senantiasa berjalan di
atas kebenaran dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan,
musyawarah, serta nilai-nilai humanisme yang mulia.
- Nilai Pendidikan Karakter
Dalam bentuk operasional pada pendidikan
formal maka berdasarkan identifikasi sejumlah nilai pembentuk karakter
yang merupakan kajian empirik Pusat Kurikulum maka untuk memperkuat
pelaksanaan pendidikan karakter dirumuskan menjadi 18 nilai yang
bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Nilai-nilai tersebut yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4)
disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis,
(9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air,
(12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai,
(15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan
(18) tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut secara teknis dituangkan dalam
pembelajaran melalui rencana pelaksanaan pembelajaran yang terintegrasi
ke dalam seluruh mata pelajaran (Daryanto & Suryatri Darmiatun,
2013: 47).
Sedangkan dalam perspektif Islam
karakter unggul dan mulia digambarkan dengan akhlak Nabi Muhammad SAW
yang termanifestasi dalam semua perkataan, perbuatan, dan persetujuan
Nabi. Akhlak unggul Nabi antara lain; benar (ash-shidq), cerdas (al-fathanah), amanah (al-amanah), menyampaikan (at-tabligh), komitmen yang sempurna (al-iltizam), berakhlaq mulia (‘ala khuluqin ‘azhiim), dan teladan yang baik (uswatun hasanah)
(Tim P3KMI, 2012: 42). Sehingga Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi
paripurna sebagai teladan bagi seluruh umat Islam. Karakter mulia
tersebut juga tercermin ke dalam perangai Nabi, Rosul, dan orang saleh
sebelum Nabi Muhammad. Juga pada sikap para sahabat, tabi’in, ulama, dan
tokoh yang senantiasa mengikuti jalan kebenaran yang telah digariskan
Allah SWT.
- Prinsip Pendidikan Karakter
Suksesi pendidikan karakter berdasar
prinsip bergantung kepada semua elemen pendidikan, dari individu secara
pribadi, keluarga, seluruh personel sekolah, dan masyarakat. Tanpa
adanya sinergi dari semua elemen, pendidikan karakter sulit
terrealisasikan. Zainal Aqib (2011: 34-36) menguraikan prinsip yang
berbeda sebagai langkah awal dari membangun karakter, hal ini dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan rumus 5 + 3 + 3 atau 11 kebiasaan
sebagai berikut:
- Lima sikap dasar
- Membangun sikap dasar dan tulus dengan berani mengatakan apa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
- Sikap yang terbuka yang merefleksikan kebersihan luar dalam;
- Berani mengambil resiko dan bertanggungjawab yang ditunjukkan dengan membela kebenaran dan keadilan;
- Konsisten terhadap komitmen dengan selalu menepati janji, perkataan harus sesuai dengan perbuatan;
- Sikap bersedia berbagi (sharing) yang menampilkan mentalitas berkelimpahan (abundance mentality).
- Tiga syarat
- Dengan niat yang bersih untuk mengawali setiap pekerjaan (nawaitu);
- Tidak mendahului kehendak Tuhan agar apa yang kita rencanakan mendapat ridho-Nya;
- Bersyukur kepada-Nya atas hasil apa pun yang kita dapat, baik yang kita senangi maupun yang tidak kita senangi dan inginkan.
- Tiga cara
- Mencanangkan hasrat untuk berubah melalui doa dan ibadah, karena hakikat dari doa adalah tuntunan terhadap diri sendiri untuk mewujudkan perubahan;
- Mewujudkan perubahan dengan memanfaatkan empat anugerah Ilahi pada manusia (self awarness, consciousness, imagination, dan independent will);
- Siap menjadi suri tauladan dalam menjalani amanah Tuhan, yaitu manusia sebagai khalifah di muka bumi. Menjadi khalifah tidak dimungkinkan tanpa memberi suri tauladan.
Dari rumus di atas dapat dijelaskan lima
sikap dasar merupakan awal dari pembangunan karakter dan jati diri kita.
Kemudian dari lima dasar tersebut yang telah memenuhi tiga syarat agar
menjadi satu kesatuan yang utuh harus dilakukan secara eksplisit dengan
melengkapi tiga cara. Setelah semua terpenuhi akan terwujud insan kamil
yang berkepribadian dan berakhlak karimah. Insan tersebut bertugas
menjalankan amanah dari Allah SWT sebagai khalifah yang mengelola dan
memakmurkan bumi.
Prinsip-prinsip pendidikan
karakter adalah sebagai pegangan dan acuan dalam pelaksanaan pendidikan
karakter. Prinsip-prinsip tersebut bukan hal paten, sehingga dapat
diubah sesuai dengan tujuan lokalitas masing-masing daerah. Hal yang
menjadi tolok ukur adalah prinsip tersebut sesuai dengan fungsi dan
tujuan luhur pendidikan karakter.
- Jenis Pendidikan Karakter
Terdapat berbagai jenis pendidikan
karakter. Jamal Ma’mur Asmani (2012: 64) menyebutkan terdapat empat
jenis karakter yang dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan,
yaitu sebagai berikut:
- Pendidikan karakter berbasis nilai religius yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan (konservasi moral);
- Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, misalnya berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh sejarah, dan lainnya;
- Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan);
- Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis).
Sedangkan dalam terma Islam, secara
definitif karakter memiliki makna yang hampir sama dengan akhlak. Dalam
perspektif ilmu, menurut Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani (2013:
81) karakter terbagi menjadi empat macam yaitu:
- Karakter falsafi atau karakter teoritis, yaitu menggali kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara mendalam, rasional, dan kontemplatif untuk dirumuskan sebagai teori dalam bertindak;
- Karakter amali, artinya akhlak praktis, yaitu akhlak dalam arti yang sebenarnya, berupa perbuatan atau sedikit bicara, banyak bekerja;
- Karakter fardhi atau akhlak individu, yaitu perbuatan seorang manusia yang tidak terkait dengan orang lain;
- Karakter kelompok atau akhlak jamaah, yaitu tindakan yang disepakati bersama-sama, misalnya akhlak organisasi, partai politik, masyarakat yang normatif, dan lainnya.
Pembagian jenis-jenis pendidikan
karakter tersebut menjadikan pendidikan senantiasa hidup di level
individu, kelompok, sosial, lingkungan, peradaban, dan agama. Pembagian
jenis karakter bertujuan untuk memudahkan dalam pemahaman pendidikan
karakter. Jenis karakter di atas didasarkan pada sumber karakter,
tinjauan filsafat ilmu, dan tinjauan ilmu akhlak. Terdapat berbagai
jenis pembagian karakter yang lain yang tidak dicantumkan dalam
penelitian ini.
- Peran Pendidikan Karakter
Terdapat beberapa elemen penting yang
berperan dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Antara lain keluarga,
semua komponen sekolah, pemimpin, dan media massa. Keluarga berperan
sebagai basis pendidikan karakter, keluarga merupakan komunitas pertama
yang mengajarkan manusia sejak dini tentang baik buruk, pantas tidak
pantas, dan benar salah. Keluarga merupakan rumah pertama seorang
manusia belajar tata nilai atau moral. Pada keluarga inti, peran utama
dipegang oleh ayah ibu sebagai modelling karakter anak. Philips menegaskan keluarga hendaknya menjadi sekolah untuk kasih sayang (school of love) yaitu tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Dari uraian di atas diketahui bahwa
keluraga berperan sebagai pondasi awal internalisasi karakter. Hal ini
diamini oleh Nurla Isna Aunillah (2011: 161) yang mengungkapkan bahwa
orang tua harus mengupayakan agar rumah benar-benar terasa sebagai
sekolah bagi anaknya. Sehingga tercipta suasana yang mendukung anak
mendapatkan pengetahuan yang berguna bagi dirinya.
Menilik berbagai pandangan di atas
pendidikan karakter mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak,
pembiasaan, dan pemahaman peserta didik terhadap perilaku yang baik dan
terpuji. Melihat urgennya peran tersebut, maka model pendidikan karakter
perlu diarahkan tidak sekedar mengenalkan berbagai aturan dan
definisinya, namun lebih menekankan pada sikap, attitude, dan
tanggung jawab. Peran pendidikan karakter ini dapat berjalan dengan baik
dan maksimal apabila didukung seluruh komponen, utamanya keluarga
sebagai tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak.
- Manfaat Pendidikan Karakter
Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani (2013: 92-93) menyebutkan beberapa manfaat pendidikan karakter adalah sebagai berikut:
- Meningkatkan amal ibadah yang lebih baik dan khusyuk serta lebih ikhlas;
- Meningkatkan ilmu pengetahuan untuk meluruskan perilaku dalam kehidupan sebagai individu dan anggota masyarakat;
- Meningkatkan kemampuan mengembangkan sumber daya diri agar lebih mandiri dan berprestasi;
- Meningkatkan kemampuan bersosialisasi, melakukan silaturahmi positif, dan membangun ukhuwah atau persaudaraan dengan sesama manusia dan sesama muslim;
- Meningkatkan penghambaan jiwa kepada Allah yang menciptakan manusia, alam jagat raya beserta isinya;
- Meningkatkan kepandaian bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya tanpa batas dan tanpa pilih bulu;
- Meningkatkan strategi beramal saleh yang dibangun oleh ilmu yang rasional, yang membedakan antara orang-orang yang berilmu dengan orang yang taklid karena kebodohannya.
Demikian begitu besar manfaat dari
pendidikan karakter yang secara keseluruhan dapat diambil benang merah
yaitu untuk mengantarkan manusia menjadi insan kamil. Untuk mewujudkan
insan kamil, nilai-nilai yang dianut bersama dan menjadi komitmen yang
kuat bersumber dari agama, norma sosial, peraturan atau hukum yang
dipadukan dengan nilai budaya lokal. Kemudian secara total mengikat
kehidupan batiniah sosial yang terungkap secara integral dalam proses
pendidikan karakter.
C. Pendidikan Karakter dalam Q.S Luqman 12-14
Ada beberapa poin dari unsur-unsur
pendidikan karakter dari segi materi yang dapat disimpulkan dari
Al-Qur’an Surat Luqman ayat 12-14. Karakter tersebut terangkum dalam
karakter religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Pupuh
Fathurrohman, dkk, 2013: 19). Dalam hal ini yang ditekankan adalah pada
sikap dan perilaku patuh melaksanakan ajaran agama yang dianut. Secara
detail dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Karakter Syukur
Karakter syukur tersebut dalam surat Luqman ayat 12 yaitu pada makna anisykur yang
merupakan salah satu penjelasan dari hikmah. Karena di antara hikmah
yang diberikan adalah mensyukuri apa yang telah diberikan Allah. Syukur
merupakan salah satu karakter utama yang perlu dimiliki manusia, sebagai
salah satu karakter, syukur merupakan sikap yang perlu dikembangkan dan
dibiasakan, karena merupakan kondisi batiniah yang belum selesai
sehingga senantiasa perlu diasah dan dibiasakan.
Syukur terambil dari kata syakara
yang maknanya berkisar antara lain pada pujian atas kebaikan, serta
penuhnya sesuatu. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa syukur
mengantarkan seseorang senantiasa merasa puas dan ridha terhadap hasil
akhir dari segala sesuatu yang diusahakan. Hal ini sesuai dengan tujuan
dari pendidikan karakter, yaitu menumbuhkan karakter positif dalam diri
individu (Zainal Aqib, 2011: 48). Individu secara obyektif mampu
mengakui dan merasa bahwa segala sesuatu sudah digariskan oleh Allah,
sehingga menimbulkan konsekuensi syukur. Efek dari syukur ini
memunculkan berbagai sikap positif lainnya dalam diri individu.
Pernyataan ini dikuatkan dengan tujuan lain pendidikan karakter yaitu
membentuk individu dalam suatu bangsa yang tangguh, berakhlak mulia,
toleran, bermoral, berorientasi IPTEK yang dijiwai oleh iman dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa (Daryanto & Suryatri Darmiatun, 2013:
45).
Syukur juga dipahami sebagai wujud rasa
terima kasih kepada Tuhan dengan perilaku yang semakin meningkatkan iman
dan taqwa atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan (Muchlas
Samani & Hariyanto, 2012: 123). Adapun realisasi pengamalan dari
karakter syukur dapat dilakukan melalui amal yang berkaitan dengan hati,
lisan, dan anggota badan lainnya. Syukur dengan hati adalah dengan
meluruskan niat baik terhadap segala sesuatu yang dikerjakan. Syukur
dengan lisan adalah berikrar memuji kebesaran Allah dan mengucapkan
perkataan yang mulia. Syukur dengan anggota badan adalah dengan
memanfaatkan nikmat itu untuk taat dan taqwa kepada Allah dan memohon
perlindungan dari perbuatan maksiat (Abdullah Al-Ghamidi, 2011: 81).
Syukur merupakan nilai pendidikan
karakter yang bersifat universal. Karena syukur mampu menyentuh semua
aspek, meliputi syukur hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, keluarga,
masyarakat dan bangsa, serta alam sekitar (Muchlas Samani &
Hariyanto, 2012: 47). Penjelasan ini sejalan dengan salah satu manfaat
pendidikan karakter yaitu meningkatkan kepandaian seorang manusia atau
individu untuk bersyukur dan berterimakasih kepada Allah atas segala
nikmat yang diberikan dan meningkatkan kemampuan mengembangkan sumber
daya diri (Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani, 2013: 92-93).
Aplikasi dari pengembangan sumber daya diri adalah mampu bersikap dan
bertindak untuk kemaslahatan.
2. Karakter Iman
Karakter yang dikembangkan dalam surat Luqman selanjutnya yaitu pada ayat 13 tentang makna inna al-syirka la zhulmun al-azhim yang
artinya mempersekutukan Allah merupakan kezaliman yang besar. Ayat ini
menekankan pentingnya keimanan sebagai pondasi utama setiap manusia.
Sehingga setiap manusia muslim diwajibkan mempercayai dengan sepenuh
hati adanya Allah SWT. Perbuatan tidak mempercayai atau mempersekutukan
Allah disebut syirik, syirik adalah perbuatan mempersekutukan Allah
dengan makhluk-Nya, seperti patung, pohon besar, batu, dan lainnya.
Mempersekutukan Allah dikatakan kezaliman yang besar, karena perbuatan
itu berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebagai umat Islam
telah diketahui bahwa tauhid merupakan asas puncak dan tertinggi dalam
Islam, sehingga perbuatan mengingkari tauhid dengan menyekutukan Allah
merupakan dosa besar yang tidak dapat ditolerir, kecuali dengan taubat
yang sebenar-benarnya (taubatan nasuha).
Berkenaan dengan syirik, terdapat dua
macam. Pertama, syirik besar, syirik besar mampu mengeluarkan pelakunya
dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia
meninggal dunia dan belum bertaubat daripadanya. Kedua, syirik kecil,
syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi
ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada
syirik besar. Syirik dalam kaitannya dengan amal perbuatan adalah
laksana api bagi kayu. Syirik mengurangi dan menggugurkan segala amal.
Salah satu landasan normatif pendidikan
karakter adalah berasal dari kitab suci suatu agama. Dalam konteks agama
Islam, Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman dan rujukan utama dalam
bertingkah laku (Hamdani Hamid & Beni Ahmad Saebani, 2013: 54).
Larangan mempersekutukan Allah dalam Islam mutlak ditaati dan
dilaksanakan karena merupakan perintah dan ajaran agama sebagai bentuk
pengakuan terhadap kekuasaan Allah SWT. Landasan normatif tersebut
dibutuhkan mengingat bahwa nilai dan norma tidak bersifat netral tetapi
memiliki keperpihakan pada sumber yang lebih tinggi. Demikian pentingnya
pendidikan karakter keimanan yang berbasis nilai religius karena
merupakan kebenaran wahyu Tuhan atau disebut juga konservasi moral
(Jamal Ma’mur Asmani, 2012: 64).
Karakter iman juga dimaknai sebagai
kepercayaan yang tinggi terhadap adanya Tuhan Sang Maha Pencipta,
dibuktikan dengan berbuat sesuai perintah dan tuntunan-Nya serta
menjauhi segala larangan-Nya (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012:
122). Karakter keimanan penting sebagai modal dasar manusia agar
senantiasa berbuat baik, karena adanya perasaan mendalam dalam diri dan
hati tentang adanya pengawasan dari Tuhan terhadap segala perbuatan yang
dilakukan. Karakter ini sangat urgen karena mampu membuat seseorang
untuk bertahan dan memiliki stamina untuk berjuang dan menghindari
tindakan yang mudharat dan tidak bermanfaat.
Pendidikan karakter tentang iman juga
menekankan pentingnya monoloyalitas bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah kecuali Allah SWT, perbuatan menyembah selain Allah SWT
merupakan bentuk kemusyrikan. Novan Ardy Wiyani (2012: 13) mengungkapkan
bahwa salah satu karakter yang harus terbentuk dalam perilaku peserta
didik adalah peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa melalui olah hati. Iman dan taqwa kepada Tuhan menurut Novan
merupakan landasan yang kuat untuk terbentuknya karakter. Dengan iman
dan taqwa tersebut akan terukir karakter positif lainnya.
3. Karakter Berbuat Baik Kepada Orang Tua
Pada ayat 14 surat Luqman ditegaskan tentang karakter yang penting untuk dilaksanakan adalah makna wawashshaina al-insana biwalidaihi yang
artinya dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada
kedua orang tuanya. Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah sebuah
keniscayaan, karena tanpa jasa, jerih payah, dan pengorbanan orang tua
seorang manusia tidak mungkin terlahir ke bumi. Ikatan pertama setelah
tauhid adalah ikatan keluarga. Oleh karena itu, penjelasan tentang
kewajiban berbakti kepada orang tua dikaitkan dengan penyembahan
terhadap Allah dan peringatan dari syirik untuk memberitahukan
pentingnya berbakti kepada orang tua di sisi Allah.
Berbakti kepada kedua orang tua hukumnya
wajib dan durhaka kepada keduanya hukumnya haram. Tidak ada yang
mengingkari keutamaan orang tua selain orang yang tercela (Ibrahim Abdul
Muqtadir, 2008: 63). Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa hijrah
hukumnya wajib, tetapi hak kedua orang tua lebih wajib didahulukan atas
jihad. Ini berlaku bila seseorang mampu menjaga agamanya saat bersama
kedua orang tua. Rasulullah juga menjelaskan berbakti kepada kedua orang
tua lebih didahulukan atas jihad, sebab berbakti kepada kedua orang tua
hukumnya wajib, sedangkan jihad hukumnya fardhu kifayah.
Orang tua merupakan pahlawan yang paling
berjasa dalam kehidupan seseorang. Melalui keluarga sebagai pusat
pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, sangat memerlukan adanya
kesinambungan antara peran orang tua dan anak. Orang tua memiliki
tanggungjawab untuk mengajarkan tentang nilai dan norma yang berlaku,
sehingga mampu terinternalisasi dalam kepribadian, karakter, dan tingkah
laku anak. Anak bersikap proaktif untuk mengikuti dan melaksanakan
arahan dari orang tua. Orang tua selalu mengedepankan totalitas untuk
menjaga anak dan mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan anak.
Salah satu urgensi dari pendidikan
karakter adalah sebagai bentuk pembinaan akhlak dan tingkah laku
individu (Pupuh Fathurrohman, dkk, 2013: 117). Maka melalui keluarga,
individu diarahkan salah satunya mampu menghargai dan berbakti kepada
kedua orang tua, terutama ibu. Ibu dalam keadaan lemah telah mengandung
selama 9 bulan, dari proses awal kehamilan, kelahiran, sampai hari-hari
awal nifas. Selama masa-masa itu merupakan hari-hari yang melelahkan,
derita, kecemasan menjadi bukti dahsyatnya perjuangan dan penderitaan
yang dialami seoarang ibu sejak awal kehamilan sampai melahirkan.
Dilanjutkan dengan berbagai persoalan yang harus dihadapi ketika proses
menyusui, merawat, dan mendidik anak sampai dewasa. Sehingga tidak
terbantahkan bahwa karakter berbakti kepada kedua orang tua merupakan
hal yang urgen untuk diaplikasikan.
Dalam kaitannya dengan berbakti kepada
kedua orang tua, juga ditekankan tentang pentingnya karakter menghormati
atau menghargai (respect). Karakter ini merupakan sikap
menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Hal ini diwujudkan
dengan memperlakukan orang lain seperti keinginan untuk dihargai,
beradab dan sopan, tidak melecehkan dan menghina orang lain, dan tidak
menilai orang lain sebelum mengenalnya dengan baik (Muchlas Samani &
Hariyanto, 2012: 128). Sebagai wujud karakter berbakti kepada kedua
orang tua, maka sikap di atas sebagai pedoman dan acuan untuk mampu respect kepada kedua orang tua.
E. Penutup
Berkenaan konsep
pendidikan karakter dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 12-14, maka
penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat empat kandungan penting tentang pendidikan karakter dalam surat Luqman ayat 12-14 sebagai berikut:
a. Penekanan terhadap pentingnya implementasi dari konsep hikmah, yaitu keselarasan atau kesesuaian antara ilmu dan amal.
b. Manusia pada dasarnya diperintahkan
untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. Syukur adalah sarana
manusia mengenal Allah, adapun efek dari syukur adalah untuk kebaikan
diri sendiri.
c. Berisi tentang pentingnya keimanan dan
larangan mempersekutukan Allah SWT karena perbuatan menyekutukan Allah
SWT disebut kezaliman yang besar disebabkan menempatkan sesuatu tidak
pada tempatnya.
d. Berisi tentang perintah berbakti dan
berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama ibu. Dikarenakan selama
masa mengandung ibu menahan dengan sabar penderitaan yang berat.
Dilanjutkan beban yang ditanggung pada masa menyusui dan mengasuh.
2. Adapun konsep pendidikan karakter
dalam Al-Qur’an dari segi materi dalam surat Luqman ayat 12-14 adalah
karakter religius yang terdiri dari:
a. Karakter syukur
b. Karakter iman
c. Karakter bebakti kepada kedua orang tua
Semua pihak yang terdiri dari Pemerintah,
para pendidik, orang tua, dan pembaca pada dasarnya memiliki
tanggungjawab untuk menciptakan generasi yang berkarakter mulia,
beradab, dan bermoral. Sehingga diharapkan mampu berperan secara
proaktif dalam pembentukan dan internalisasi karakter mulia pada
generasi selanjutnya.
Sumber : https://abdulghofur91.wordpress.com/2014/10/17/konsep-pendidikan-karakter-dalam-al-quran-surat-luqman-ayat-12-14-2/
0 komentar:
Posting Komentar