Review Film "Ayah Menyayangi Kita Tanpa Akhir"




AYAH MENYAYANGI TANPA AKHIR, Pada saatnya kita memang harus sendiri”


Jenis Film      : Drama
Produser        : Hanny R. Saputra
Sutradara      : Hanny R. Saputra
Penulis            : Kirana Kejora
Pemain Film    : Fedi Nuril sebagai (Juna/Arjuna), Kelly Tandiono sebagai (Keisha),  Naufal Azhar sebagai (Mada), Niken Anjani sebagai (Jati), Amanda Rewles sebagai (Diva)
Produksi         : MD Pictures
Tanggal Rilis : 29 Oktober 2015
Durasi             : 90 Menit

Film drama yang berjudul “Ayah Menyayangiku Tanpa Akhir” pada saatnya kita memang harus sendiri, ini merupakan film yang diadaptasi dari novel karya Kirana Kejora dengan judul yang sama. Film ini menceritakan awal kisah cinta sepasang kekasih yang memiliki perbedaan ras, budaya dan asal keturunan. Arjuna Dewangga/Juna (Fedi Nuril), seorang pria keturunan Jawa dan  Keisya Mizuki (Kelly Tandiono) seorang wanita keturunan Jepang yang saling mencintai dan berjuang akan cinta mereka untuk melangkah ke jenjang pernikahan, namun keluarga kedua belah pihak sama-sama tidak mensetujui. 


Dengan perjuangan keduanya, akhirnya mereka menikah meski tanpa restu orang tua. Dari pernikahan itu, Juna dan Kesya di karuniai seorang buah hati bernama Rajendra Mada Prawira/Mada (Nauval Azhar). Dengan kehadiran sang buah hati, memberikan bahagia dan duka, karena Juna harus kehilangan Keisya saat melahirkan Mada. Dari sinilah, Juna mulai berperan sebagai Ayah sekaligus Ibu bagi Mada (single pharent). 

Film ini menceritakan dengan singkat bagaimana Juna membesarkan anaknya dari mulai bayi hingga beranjak dewasa, menghadapi perubahan-perubahan fisik dan cara berfikir Mada. Suka dan duka Juna alami saat membesarkan Mada, hingga ujian dan tantangan besar ia hadapi saat Mada tervonis mengidap penyakit kanker otak. Segala upaya Juna lakukan untuk menyembuhkan Mada, darimempelajari resep-resep pengobatan alami untuk penyembuhan kanker hingga harus mengoperasi Mada karena kondisi yang kian parah, disinilah perjuangan seorang ayah yang luar bisa terlihat. 

Perjuangan ayah belum berakhir setelah operasi, Juna berusaha melakukan terapi berbicara, menulis dan berjalan. Selang beberapa waktu Mada bisa pulih kembali walau belum sembuh dari kankernya. Dikisahkan pula perjalanan mereka ke Jogja untuk melihat tempat asal ayahnya. Hingga akhirnya Mada menghembuskan nafas terakhirnya, beberapa waktu sekembalinya dari jogja.Perjalanan hidup ayah dan anaknya memberikan pesan moral yang berharga bagi setiap mata yang melihat. Perjuangan yang ayah lakukan memberikan banyak pelajaran pada kita untuk senantiasa menghargai ayah dan ibu kita.

Film ini bukan film yang mengharu biru dan sarat dengan drama romantic dari seorang ayah yang begitu menyayangi anak semata wayangnya. Kisah mengharukan baru terlihat dari saat Mada terserang penyakit kanker otak. Tidak terlalu banyak konflik dalam film ini, kita bisa jumpai konflik terjadi saat Juna menentang pengobatan kemoterapi dan saat Juna berdebat dengan kakanya di jogja. 

Namun dalam film ini, penyajian unsur kebudayaan yang berbeda antara Jawa dan Jepang tidak terlihat menonjol, hanya penuturan bahasa Kesya yang kadang menggunakan bahasa Jepang. Tidak dibahas pula tentang kesamaan atau perbedaan agama yang dianut Juna dan Kesya dan proses pernikahan keduanya. Cerita perjalanan seorang ayah mengasuh saat bayi hingga remaja terlalu singkat, tidak ada penjelasan selang beberapa tahun kemudian saat Mada sudah remaja. Secara keseluruhan timing dalam setiap peristiwa tidak terlalu jelas, sehingga menimbulkan pertanyaan di benak penonton. 

Namun, yang pasti film ini membuat kita memahami akan arti kesendirian, kesetiaan, hubungan antara ayah dan anak, pengorbanan, perjuangan hidup, dan cinta ayah yang tak akan pernah berakhir pada anaknya. Dan film ini juga memberikan pesan bahwa kita semua pada saatnya memang harus sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar