Resume Buku Genealogi Kaum Merah


Judul Buku   : Genealogi Kaum Merah Pemikiran dan Gerakan
Penulis            : Makhrus Ahmadi dan Aminuddin Anwar
Penerbit     : Rangkang Education bekerjasama dengan MIM Indigenous School
Tahun Terbit : 2014
Halaman         : xxx + 278 halaman


“Kehadiran buku “Geneologi Kaum Merah” karya Makhrus Ahmadi dan Aminuddin Anwar ini, patut untuk menjadi referensi dan renungan bersama dalam tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang sudah memasuki usia setengah abad. Buku ini tidak saja menyajikan tentang gerakan dan pemikiran dalam tubuh IMM. Tapi juga menyajikan data empiric pemikiran kader dengan sampel hampir merata di seluruh Indonesia, sehingga kebutuhan gen pemikiran IMM sebagaimana dikonsepsi dan dioperasionalkan dalam gambaran buku ini, bisa membumikan lebih luas enam penegasan. Besar harapan saya: ditengah semakin kompleksnya arus gerakan dunia yang kian bermacam bentuknya. Maka, pemaknaan, pemikiran, dan identitas IMM sebagaimana tergambar dalam enam penegasan, bisa menjadi ruang solutif-aplikatif yang bisa dilakukan oleh kader-kader IMM. Tidak saja pada saat ini, tapi juga masa yang akan datang. Selamat berkader dan berkarya”
Drs. H. A. Rosyad Sholeh
Yogyakarta, 19 April 2014


PENDAHULUAN
A.    Orientasi Kader dan Upaya Pembangunan Kesadaran Kolektif
Hal yang paling menarik dalam tubuh IMM selama ini, masih berkaitan dengan suksesi kepengurusan, bukan lagi kepemimpinan. Menduduki pucuk kepengurusan yang paling tinggi-sebut DPP IMM, dianggap keberhasilan dari proses perkaderan dan regenerasi kepengurusan. Orientasi pada struktur kepengurusan yang lebih tinggi ini menyebabkan memudarnya orientasi kesadaran kolektif untuk membangun gerakan IMM secara radikal dan progresif. Pilihan memimpin yang lebih tinggi masih diasumsikan dapat menciptakan perubahan besar.
Barangkali, orientasi pemahaman suksesi kepengurusan yang lebih tinggi tersebut bukanlah suatu yang keliru. Manakala hal tersebut dapat dilakukan dengan fair dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di IMM, atau lebih tepatnya, suksesi kepemimpinan. Kemampuan kepemimpinan bisa saja tidak hanya ditempuh dengan mengikuti semua jenjang perkaderan formal yang dipersyaratkan, melainkan dengan kemapuan yang senantiasa diasah dan dipelajari secara kolektif kolegial.
Kesadaran kolektif kolegial bisa dibentuk melalui pemahaman bersama terhadap realitas yang dihadapi. Sehingga bentuk kesadaran ini lebih bersifat kesadaran kritis, yang menuntut perubahan atas realitas yang timpang. Maka, proses internalisasi value yang ada dalam IMM harus menjadi tahap yang paling mendasar melalui serangkaian pemahaman identitas sebagai kader. Dimana masing-masing kader memahami peran dan fungsinya sebagai “kader” yang senantiasa bergerak dinamis dan dialektis. Dan membangun kesadaran kolektif yang menyeluruh, yang berwujud akan membawa gerakan IMM pada suasana yang lebih dialektis dalam memandang setiap persoalan.
      Kesadaran kolektif pada akhirnya akan membawa pada kesadaran structural. Dimana masing-masing pimpinan memiliki arah kebijakan yang mampu menelaah dari aspek yuridis-organisatoris dan prosedur-administratif, serta dapat menformat kebijakan jangka panjang melalui berbagai program yang lebih terencana dan terprogram. Maka, dengan adanya orientasi kader yang lebih tertata dan kesadaran kolektik yang sudah terbangun, kader IMM senantiasa akan memaknai segala hal yang ia lakukan di IMM sebagai wujud perjuangan, yang implikasinya segala bentuk tendensi sesame kader, kepentingan individu/kelompok dan dispritas pemahaman akan lebih memudah dieliminir lebih dini, dikarenakan kepentingan, identitas, dan kebersamaan dalan visi erjuangan sudah menjadi value yang melekat dengan baik dan kuat.

B.     “Kaum Merah”; Genealogi Pemikiran dan Gerakan IMM
Simbol merah akan menjadi identitas tunggal, yang melekat dalam setiap aksi gerakan revolusioner sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang selama ini membelenggunya. Symbol merah menjadi representasi anti kuasa dimana ia harus bekerja atas keadaan yang menindas, ketidakadilan. Namun yang akan menjadi pembahasan adalah “kaum merah” yang melekat di tubuh IMM atau pada gerakan lain yang menggunakan symbol merah, pada kenyataannya IMM pada titik tertentu juga melakukan hal yang sama sebagai revolusioner.
Penggunaan warna merah sebagai symbol IMM, menurut Rosyad Shaleh sebagai bentuk antithesis terhadap dominasi warna yang menjadi klaim PKI ataupun CGMI. Penggunaan warna merah sebagai identitas pro rakyat, dengan selalu berpihak pada rakyat dan Negara berarti berpihak kepada Tuhan. Selain itu juga sebagai symbol perlawana terhadap dominasi symbol warna dan kekuasaan, tapi juga sebagai penabur semangat rakyat tertindas, yang diilhamidari Q.S Al-Ma’un.
Semangat teologi Al-Ma’un yang mendasari gerakan IMM, membengun kesadaran diri akan keberpihakan kepada kaum yang tertindas. Eratnya persaudaraan sesama pimpinan dimasa awal sebagai modal utama dalam upaya perwujudan teologi al-Ma’un. Mendorong terciptanya kebaikan dan kepedulian antae sesame manusia, selalu diimbangi dengan adanya perubahan social dalam masyarakat secara massif.  Hal ini karena ajaran agama dibuktikan dengan tindakan tidak hanya keyakinan individualistik.
Teologi Al-Ma’un sebagai nilai filosofis gerakan IMM, tidak pelak harus mampu diterjemahkan dalam program dan kebijakan, yang mengedepankan bentuk keadilan dan keberpihakan terhadap mestadhafin. Namun persoalan yang sering dihadapi tiap level pimpinan IMM adalah bentuk program kebijaksanaan yang berubah-ubah dalam tiap periode kepemimpinannya. Sehingga IMM terkesan organisasi yang pragmatis (kejar jumlah program), bukan organisasi perkaderan. Padahal hakikat organisasi perkaderan adalah mampu menjalankan program atau kebijakan yang telah tersusun lewat arahan panjang yang sesuai target yang akan dicapai.
Rangkaian perbedaan program dan kebijakan dalam masing-masing periode ini, barangkali dapat dilacak dari “genealogi” pemikiran dan gerakan awal IMM sejak dilahirkan. Genealogi adalah studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok  orang sepanjang beberapa generasi. Jika ditarik kedalam jatidiri IMM dalam aspek pemikiran dan gerakan. Maka, yang dihasilkanadalah resistensi dan refleksi. Pemikiran sebagai bentuk proses, cara dan tindakan berfikir senantiasa akan selalu berkembang. Sehingga gerakan IMM sebagai tindakan, usaha dan juga kegiatan senantiasa berkembang. Artinya, pemikiran dan gerakan secara genealogi tidaklah statis, melainkan dialektis.

C.     Studi Terdahulu: Tentang Pemikiran dan Gerakan IMM
Hal yang paling mendasar dari organisasi gerakan adalah konsistensi dan militansi kader, dalam melakukan diaspora gerakan maupun mengevaluasi format yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu, keberadaan kader sebagai basis inti dari organisasi gerakan menjadi objek vital, yang senantiasa menentukan arah kehidupan organisasi gerakan tersebut.
Dari beberapa studi sebelum ini, seperti “Kelahiran yang dipersoalkan, seperempat abad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah”, “Melacak sejarah kelahiran IMM dan perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah”, “Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah bersaksi ditengah badai catatan kritis sejarah kelahiran IMM melawan Komunis”, “Oase pemikiran ikatan konstruksi identitas kader ikatan” dan lain sebagainya. Maka kajian berbasis riset terhadap kader mengenai genealogi IMM “kaum merah” yang berkaitan dengan pemikiran dan gerakan IMM belum dilakukan. Buku GKM inilah yang akan menjawab hal itu.

D.    Struktur Buku
Bab pertama, menjelaskan mengenai konsep pandangan awal genealogi kaum merah. Dan beberapa pandangan yang dianggap fundamental, khususnya dalam pembangunan kesadaran kritis dan kolektif dalam tubuh IMM. Disamping itu juga menjelaskan mengenai hasil temuan karya lain yang memiliki relevansi yang sama dengan yang hendak dilakukan dalam buku ini, dapat mengambil benang merah terkait perlunya riset dan penelitian dalam.
Bab kedua, menjelaskan mengenai genealogi dan gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan social keagamaan yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan satu abad yang lalu
Bab ketiga, menjelaskan berbagai hal yang fundamental dalam pemikiran dan gerakan IMM. Mulai dari sejarah, manifesto, dan kepribadian yang menjadi salah satu topic pembahasan.
      Bab keempat, menjelaskan dan memberikan pemaparan mengenai hasil temuan yang dilakukan dalam riset penulisan buku ini.
      Bab kelima, menjelaskan dan memberikan corak dan cara pandang trilogy IMM dari aspek yang selama ini dianggap nilai agung yang menjadi metodologi gerakan.
      Bab keenam, menjelaskan mengenai keberadaan gen pemikiran secara lebih spesifik. Sehingga dalam pemaparan bab ini juga dijelaskan mengenai bentuk pola kerja dari gen pemikiran. Dalam artian, bab ini menjadi bentuk penjelasan praksis dari yang didiskusikan pada bab sebelumnya. Sehingga struktur buku dan gagasan gen pemikiran bisa dimengerti: tidak saja secara teoritik, tapi juga praksis.                  

PEMIKIRAN DAN GERAKAN MUHAMMADIYAH
A.    Pendahuluan
“Lengah, kalau sampai terlanjur terus menerus lengah, tentu akan sengsara di dunia dan di akhirat. Maka dari itu jangan sampai kita lengah, kita harus berhati-hati. Sedangkan orang yang mencari kemuliaan di dunia saja kalau hanya seenaknya, tidak bersungguh-sungguh, tidak akan berhasil. Apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di akhirat. Kalau hanya seenaknya, sungguh tidak akan berhasi” K.H Ahmad Dahlan.
Secara singkat dipaparkan sejarah K.H. Ahmad Dahlan, dari pendidikan yang beliau tempuh, sekilas tentang keluarga beliau, perjuangan setelah menuntut ilmu yang perlahan melakukan dakwah kepada masyarakat, dan perjuangan beliau hingga lahirnya Muhammadiyah.

B.     Pemikiran K.H Ahmad Dahlan
Tiap pribadi memliki pemikiran yang berbeda antara pribadi satu dengan yang lainnya. Karena adanya perbedaan berbagai factor yang mempengaruhi. Pemikirab K.H. Ahmad Dahlan tentu saja dipengaruhi oleh guru-guru beliau saat berada di Makkah, maupun tokoh pemikir muslim yang saat itu sangat berpengaruh.
Pemikiran beliau merupakan elaborasi pemahaman dan pengetahuan antara teks dan konteks yang dihadapinya. Sehingga pemikiran progresif Kiai Dahlan tidak menjiplak total pemikiran tokoh (guru) yang mempengaruhinya, melainkan melakukan koreksi sesuai konteks masyarakat yang sedang dihadapinya agar dakwah dan gagasan dapat menyentuh persoalan mendasar manusia.
Inti pikiran K.H. Ahmad Dahlan yang termuat dalam penerbitan hoofbestuur Taman Pustaka tahun 1923 adalah:
1.      Bidang ibadah, pandangan K.H. Ahmad Dahlan sama dengan ulama salaf
2.      Beragama itu beramal
3.      Dasar pokok hukum Islam Al-Qur’an dan sunnah
4.      Tindakan nyata adalah wujud konkret dari penerjemahan al-Qur’an dan organisasi merupakan tindakan yang nyata tersebut
5.      Lima jalan memahami al-Qur’an
6.      Landasan orang suka dan bergembira
7.      Kunci persoalan peningkatan kualitas hidup dan kemajuan umat Islam
8.      Pembinaan generasi muda
9.      Strategi menghadapi perubahan social
10.  Objek gerakan dakwah Muhammadiyah
Pemikiran beliau setidaknya dapat terurai dalam bentuk keagamaan, kemanusiaan dan kemasyarakatan yang mempunyai andil besar terhadap semangat perjuangan Muhammadiyah secara kelembagaan. Tiga pokok pemikiran Kiai Dahlan adalah 1) fungsi akal dan kecerdasan, 2) isi pokok ajaran Islam dan pendidikan Islam, 3) strategi pengembangan pendidikan Islam. Kajian mendalam terhadap ajaran Islam, kemudian beliau praktekkan dalam realitas untuk meyelesaikan masalah keummatan.
Dalam beragama tidak hanya mengedepankan keyakinan yang Imani, namun harus berwujud dalam tindakan. Seperti dalam spirit surah Al-Ma’un, yang kemudian diterjemahkan pada tiga pilar, yaitu healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan social). Hal yang menarik dari Kiai Dahlan adalah kemampuan mengelaborasi pemikiran para guru dan konteks sosio-kultural masyarakat. Sehingga bentuk konfrontasi pemahaman antara dirinya dan masyarakat dapat dihindari.
Keberhasilan Kiai Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah sejak tahun 1912, ridak serta merta aman dari intimidasi pihak lain. Gegrakan yang menitik beratkan pada kalangan pada kelas menengah akan berhadapan dengan tingkat struktur yang lebih nyata. Gerakan pemurnian lewat penghapusan TBC, kemudian dinilai Muhammadiyah mengabaikan nilai budaya masyarakat, padahal faktanya banyak budaya yang masih dilestarikan Muhammadiyah dengan modifikasi konten isi, sehingga tidak melenceng dari ajaran Islam.
Jadi secara paradigmatik sejak Muhammadiyah didirikan hinggan masuk abad kedua bentuk gerakannya tidak berubah menjadi gerakan lain, tetap konsiten menjadi gerakan yang menitik beratkan pada, pertama Muhammadiyah sebagai gerakan islam, kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam dan ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.

C.     Lintas Satu Abad: Prestasi Ladang Dakwah Muhammadiyah
Aktivisme gerakan Muhammadiyah yang sudah memasuki abad kedua, seakan tidak dapat dibendung dengan makin menjamurnya amal usaha di berbagai bidang, pembukaan cabang di luar negeri, dan banyak bermunculan generasi muda Muhammadiyah yang kreatif tak hanya memimpin namun juga berfikir futuristic.
Tidak dapat dipungkiri tantangan yang akan dihadapi akan semakin besar, apalagi dengan adanya konstruksi kapitalisme plobal yang semakin memperlebar kesenjangan social diberbagai bidang. Muhammadiyah harus mampu menghadapi berbagai tantangan, baik internal persyarikatan maupun eksternal. Dan capaian menggembirakan Muhammadiyah melalui beragam bidang amal usaha, semakin memposisikan Muhammadiyah sebagai gerakan social keagamaan di rumahnya sendiri, sehingga menguatkan civil society di Indonesia.
Perjalanan dakwah Muhammadiyah sejak didirikan hingga sekarang tetap mengkonsentrasikan pada pengembangan pendidikan, kepedulian social dan dan kesehatan. Ditandai dengan AUM (amal usaha Muhammadiyah) yang berkembang dibidang tersebut. Dengan berkembang pesatnya AUM, tentunya membutuhkan penupang dan perangkat untuk lembaga kedermawanan (finlantropi). Sebab Muhammadiyah menerapkan peran donatur, oleh karena itu Muhammadiyah oleh kalangan ilmuan barat dianggap sebagai gerakan “muslim modernis”.

D.    Muhammadiyah dan Wahabi
Terdapat anggapan bahwa Muhammadiyah dan Wahabi memiliki relasi kuat yang saling menguntungkan. Padahal dalam faktanya, ada perbedaan bentuk gerakan yang di tempuh Kiai Dahlan dengan Muhammadiyah di Indonesia dengan paham Wahabi. Apa yang dilakukan oleh kelompok Wahabi-S’ud, nyaris tidak ditemukan dalam dakwa Kiai Dahlan. Maka anggapan yang menjadikan Muhammadiyah sebagai bagian dari Wahabi, harus segera dikoreksi secara menyeluruh dan proposional. Sebab fakta dilapangan keberadaan Muhammadiyah masih tetap berkompromu dengan kultur masyarakat Indonesia.
Gerakan tajdid dalam Muhammadiyah bukan hanya sekedar mengandung perintah dan larangan, melainkan juga petunjuk. Dan pemurnian yang dilakukan Muhammadiyah lebih bersifat luas yang didukung dengan gerakan pengembangan. Maka, pelabelan negatif terhadap pemurnian justru menibulkan kesan keengganan penerima pemurnian aqidah.
Muhammadiyah selain tetap berupaya memurnikan aqidah, tetapi juga termanifestasi dalam gerakan sosialnya. Akhirnya harus ditegaskan bahwa Muhammadiyah buka Wahabi, bukan pula Dahlaniah. Muhammadiyah adalah penganut ajaran Nabi Muhammad SAW yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah.

E.     Gejolak Pemikiran Kaum Muda Muhammadiyah
Gejolak pemikiran kaum muda di Indonesia kian berkembang secara signifikan yang ditandai dengan semakin luasnya gagasan progesif, yang kadangkala masih menjadi perdebatan oleh berbagai kalangan. Khususnya kaum tua yang tetap teguh, menutup diri dan enggan dengan perubahan dalam hal apapun.
Berkembangnya pemikiran kaum mudda juga melanda kalangan Muhammadiyah, organisasi yang selama ini menyandang organisasi modersnis. Dikalangan Muhammadiyah terbentuk Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), yang merupakan hasil pertemuan kaum intelektual muda di Malang. Keberadaan JIMM juga menimbulkan pro-kontra di kalangan pimpinan dan aktivis Muhammadiyah.
Muhammadiyah secara tersirat memberikan kebebasan kepada kaum mudanya yang progresif. Hanya saja kebebasan tersebut ada batasannya terutama dalam penggunaan atribut “nama Muhammadiyah” dalam nama belakang JIMM. Gejolak pemikiran kaum muda Muhammadiyah ini bisa dianggap upaya ijtihad kaum muda untuk menjawab permasalahan kontemporer, yang kadang tidak bisa diselesaikan dengan formalisme structural-administratif.
Namun berjalannya waktu, ternyata eksistensi JIMM mulai meredup ditengan banyaknya tuntutan dan serbuan yang kian beragam, baik dikalangan Muhammadiyah yang masih belum memberikan ruang gerak bagi kaum pemikiran muda tersebut. Selain itu para aktivis JIMM tersebar dalam banyak bidang sesuai dengan konsentrasi yang ditekuni.
Hal yang paling nyata terlihat dalam arus ketegangan pemikiran dikalangan muda Muhammadiyah adalah hingga kini pemikiran dan pemikir Islam progresif masih belum menemukan kursi struktur Pimpinan Muhammadiyah.

F.      Ijtihad Politik: Dari Pola Kultural ke Struktural, Mungkinkah?
Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Tidak bisa terlepas dari kepentingan structural-kultural politik praktis. Klaim kepentingan berbagai kalangan, baik kader maupun bukan kader untuk membawa Muhammadiyah kedalam arus politik senantiasa terus berkumandang, apalagi di musim pemilu. Namun hingga saat ini tidak pernah bergeming. Keteguhan Muhammadiyah untuk tidak terlibat aktif secara structural politik praktis ditandai dengan adanya khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah sebagai organisasi social keagamaan.
Meski dalam realitanya, masih ada beberapa pihak yang pemaknaan terhadap khittah tersebut tidak terlalu kaku, dalam arti Muhammadiyah bisa pro-aktif membangun relasi dan keputusan politik. Apalagi dengan keberadaan Muhammadiyah dengan pengikut dan amal usaha yang semakin besar senantiasa dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Maka penting khittah sebagai bentuk pengukuhan komitmen perjuangan, menjadikan Muhammadiyah lebih arif dalam menghadapi persoalan.
Sekalipun Muhammadiyah tidak terlibat dalam politik praktis secara organisatoris, namun beberapa kader mampu berkontribusi dan pemikiran dalam pembangunan Indonesia. Dinamika politik dalam tubuh Muhammadiyah ini akan selalu ada, sepanjang pemahaman terhadap pemikiran politik Muhammadiyah itu tidak bisa dimengerti oleh kalangan po-aktif politik. Maka keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi social kegamaan cenderung menekankan diri pada pendidikan politik, yang mampu menciptakan kesadaran politik tidak saja secara structural maupun kultural, baik Muhammadiyah maupun non-Muhammadiyah.
Disesuaikan dengan tujuan Muhammadiyah, maka keberadaan politik praktis bukanlah tujuan dari perjuangan Muhammadiyah, sehingga harus terlibat dalam percaturan politik. Kendati tetap memberikan kebebasan bagi kadernya yang memiliki kapasitas dan integritas untuk terlibat dalam politik praktis. Disinilah pentingnya Kittah Muhammadiyah, memposisikan Muhammadiyah akan selalu menjadi dirinya sendiri, sebagai organisasi dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Bentuk netralisasi Muhammadiyah yang diwujudkan dalam prestasi diladang dakwah social-kemasyarakatan yang selama ini menjadi konsentrasi Muhammadiyah sehingga tercipta masyarakat yang sebesar-besarnya.

GENEALOGI PEMIKIRAN DAN GERAKN IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
A.    Sejarah Lahirnya IMM
Lahirnya IMM pada tanggal 14 Maret 1964/29 Syawal 1384 H di Yogyakarta, seringkali dikaitkan dengan rencana dibubarkannya HMI oleh pemerintah Soekarno yang mendapat sokongan dari PKI. Sekalipun hal tersebut tidak pernah terbukti, meski dikait-kaitkan dengan buku karangan Farid Fathoni “Kelahiran yang Dipersoalkan”, sehingga menyebabkan dinamika ketakutan dikalangan kader IMM yang menganggap bahwa ada keretakan antara judul dari isi buku. Karya Farid Fathoni tersebut menjadi ruang saling berlomba karya tentang keberadaan IMM, agar tidak ada lagi anggapan bahwa IMM adalah wadah penampung bagi HMI yang hendak dibubarkan. Bahkan Rosyad Shaleh menegaskan bahwa itu adalah isu belaka dan tak beralasan. Sebab, pada faktanya IMM didirikan pada tanggal 14 Maret masih bersifat lokal dan belum nasional.
Sebelum berdirinya IMM, keberadaan mahasiswa Muhammadiyah tergabung dengan ortom seperti Pemuda Muhammadiyah (PM), NA maupun HW, tentunya sebaran ini menjadi kurang efektif. Keinginan untuk mendirikan PTM pada saat Muktamar Muhammadiyah ke 25 di Jakarta belum dapat terwujud karena desakan kemerdekaan. Barulah pada tanggal 18 November 1955, paska kemerdekaan Muhammadiyah merintis Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang. Namun harus vakum karena adanya pemberontakan kedua PRRI. Pemuda Muhammadiyah membentuk Departemen Mahasiswa yang menampung segala aspirasi mahasiswa, menyelenggarakan pengajian-pengajian dan DM adalah embrio kelahiran IMM.
Pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah I di Palembang 1956, menetapkan untuk menghimpun pelajar dan mahasiswa Muhammadiyah. Kemudian diadakan Konferensi Pimda se Indonesia Pemuda Muhammadiyah di Surakarta, dan lahirlah IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) pada tanggal 18 Juli 1961. Pasca berdirinya IPM, PTM berkembang cukup pesat. Dengan perkembangan PTM yang semakin pesat, maka semakin bertambah jumlah mahasiswa dan kader Muhammadiyah. Yang mendorong terbentuknya organisasi Mahasiswa Muhammadiyah.
Lembaga Dakwah kampus yang lahir di Yogyakarta menjadi cikal bakal berdirinya IMM, pada tanggal 14 Maret 1964/29 Syawal 1384 H dideklarasikan kelahiran IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Gedung Dwi Sata Warsa Yogyakarta, yang diikuti dengan penandatanganan enam penegasan IMM oleh Prof. Arif Ma’ruf, wakil ketua PP. Saat itu IMM masih dalam lokal Yogyakarta, namun beberapa saat kemudian meluas kebeberapa kota lain. Dan pada Munas I di Solo 1965 dihadiri oleh lima cabang IMM, yaitu Jogja, Jakarta, Jember, Bandung dan Solo.
Berdirinya IMM menyebabkan beberapa mahasiswa Muhammadiyah yang berada di HMI bergabung dengan IMM. Kelahiran IMM ditengah tekanan akan dibubarkannya HMI, menimbulkan beberapa asumsi, yaitu pertama IMM lahir karena adaya kecelakaan sejarah karena ada pembubaran HMI, kedua, adanay superioritas sebagian kalangan yang masih meributkan tentang lahirnya IMM dan keterkaitan Pemuda Muhammadiyah dalam membidani lahirnya IMM.
Dalam Munas I IMM di Solo melahirkan deklarasi Kota Barat Solo, yang salah satunya pembacaan kembali enam penegasan IMM yang sudah disusun dalam Munas pendahuluan IMM. Namun terdapat perbedaan redaksi penegasan versi Noor Chozim Agham, Ajib Purnawan dan Abdul Halim Sani dengan Farid Fathoni, terjadi pada dua hal, pertama, pada peletakan poin ke-4 dan ke-5 dimana diantara keduanya saling berkebalikan. Kedua, perbedaan redaksional di poin ke-6, sekalipun hal tersebut masih satu makna dan maksud. Namun seharusnya ada satu redaksional utama yang menjadi acuan utama. Kelemahannya adalah minimnya akses dokumentasi dan informan yang bisa memberikan jalan terang: ada dimana, sama siapa redaksional otentik enam penegasan tersebut.

B.     Perkembangan IMM
Mengandung arti sebab akibat antara kelahiran IMM dan perkembangan PTM yang tidak bisa dibendung, artinya sekalipun kelahiran IMM sekalipun tidak berada dalam gejolak antara PKI dan organisasi Islam dalam rentang 1964-1966, maka pada saat itupun kelahiran IMM juga akan lahir. Adapun maksud didirikannya IMM adalah:
1.      Turut memelihara martabat dan membela kejayaan bangsa
2.      Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
3.      Sebagai upaya penopang, melangsungkan dan merumuskan cita-cita pendirian Muhammadiyah
4.      Sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah
5.      Membina, meningkatkan dan memadukan iman dan ilmu serta amal dalam kehidupan bangsa, umat dan persyarikatan.
Perkembangan IMM dari masing-masing periode kepemimpinan selalu menemukan dinamika, momentum dan sejarahnya sendiri. Tidak saja dipengaruhi oleh internal IMM namun juga factor eksternal seperti, organisasi mahasiswa secara keseluruhan. Berkaitan dengan hal tersebut, periode IMM dapat dilihat dari empat fase.
1.      Fase Pembentukan dan Konsolidasi
Fase awal dimana IMM terbentuk, bahwa kelahiran IMM merupakan tuntutan yang dikehendaki kelahirannya oleh sejarah, IMM dan Muhammadiyah. Dan tidak membenarkan bahwa IMM sangat terkait dengan rencana dibubarkannya HMI oleh pemerintah yang cenderung memberi ruang bebas terhadap PKI. Artinya, kelahiran IMM malah membantu keberadaan dan eksistensi HMI agar tidak dibubarkan oleh PKI, hal ini dilakukan sebagai wujud kesadaran diri IMM dalam sebagai sesame kader IMM.
Untuk mengetahui anggapan IMM lahir sebagai penampung kader HMI, jika berhasil dibubarkan bisa terlihat dengan dua cara yaitu, pertama, kedekatan HMI dengan Muhammadiyah baik secara ideologis maupun kultural para kadernya. Sebab, tidak bisa terbantahkan bahwa terdapat kedekatan emosional antara HMI dengan Muhammadiyah yang terjalin dengan erat. Apalagi beberapa kegiatan HMI mendapat dukungan Muuhammadiyah, sekalipun pada tahap perkembangannya HMI sebagai gerakan mahasiswa yang cenderung plural dari latar belakanga kadernya, sehingga tidak selamanya Muhammadiyah menitipkan perkaderannya kepada organisasi mahasiswa lain.
Kedua, adanya kader HMI yang sudah menjadi pimpinan Muhammadiyah ataupun pimpinan amal usaha Muhammadiyah. Factor ini akan menentukan berbagai pandangan terhadap IMM dari berbagai sudut. Sebab bisa jadi “virus” kelahiran IMM yang terus dipersoalkan, bukan berasal dari internal IMM namun faktro eksternal. Hamper semua organisasi gerakan manapun, jika masih dalam tahap pembentukan selalu menemukan dinamikanya sendiri. Termasuk gagasan enam penegasan atau trilogy IMM yang masih belum ada dokumen asli tentang prasasti penandatangan tersebut. Namun, hal yang unik di masa awal IMM adalah tidak berbasis organisasi didataran kampus, melainkan melebur bersama cabang, ranting, dengan kata lain berdakwan bergandeng dengan Pemuda Muhammadiyah.
Melalui fase inilah, keberadaan IMM cenderung lebih dekat dengan masyarakat dengan melibatkan diri bersama program yang telah dilakukan Muhammadiyah. Dalam Munas IMM ke-I sampai ke-V berbagai aturan formal sudah mulai terbentu tidak terkecuali proses perkaderan. Pada periode Djazman Alkindi di cabang Jogja melakukan perkaderan latihan instruktur. Proses perkaderan saat itu lebih diorientasikan pada penyiapan kader yang akan melanjutkan jenjang kepemimpinan, khususnya kepemimpinan ditingkat DPP IMM. Dengan perkaderan nasional yang bertempat di Tasikmalaya, Jogja dan Malang. Dan dengan keberadaan Djazman Alkindi di Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah, menyebabkan IMM mendapat kepercayaan sangat tinggi dari Muhammadiyah, salah satunya amanah mengelola penerbitan resmi ortom, yang pada saat itu redakturnya adalah Rosyad Sholeh, Amien Rais, dan Soedibiyo Markoes.
Barangkali keberadaan IMM dalam fase ini bisa dianggap sebagai embrio kelahiran dan upaya organisasi dalam menyiapkan segala infrastruktur yang berkaitan dengan hal-hal fundamental organisasi, yang meliputi AD/ART, atribut, hymned an lagu, perkaderan, identitas dan lain sebagainya. Sehingga pada fase berikutnya yang harus dilakukan oleh semua kader IMM adalah mewujudkan tujuan IMM, “mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”.
2.      Fase Tantangan, Kebangkitan dan Peralihan
3.      Fase Pra-reformasi dan Reformasi
4.      Fase Pasca Reformasi

C.     Prinsip Perjuangan IMM
Hal yang paling mendasar diketahui kader IMM adalah bagaimana memahami identitas dan nilai gerakan yang sudah menjadi pijakan, untuk digerakkan agar nilai agung keduanya bisa membumi dan dirasakan oleh mereka yang mengalami ketertindasan. Nilai-nilai perjuangan dalam IMM:
1.      Identitas IMM
a.       Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah organisasi kader yang bergerak dibidang keagamaan, kemasyarakatan,  dan kemahasiswaan dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah
b.      Sesuai gerakan Muhammadiyah, maka Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah memantapkan gerakan dakwah ditengah-tengah masyarakat khususnya dikalangan mahasiswa.
c.       Setiap anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus mampu memadukan kemampuan ilmiah dan aqidahnya
d.      Oleh karena itu, setiap anggota harus tertib dalam ibadah, tekun dalam studi dan mengamalkan ilmunya untuk menyata laksanakan ketakwaan dan pengabdiannya kepada Allah SWT.
2.      Nilai Dasar Ikatan (NDI)
3.      Pokok-pokok Pikiran IMM (Padang, Sumbar, 14-18 April 1986-Muktamar V IMM)
a.       Dunia/Internasional
b.      Umat Islam Indonesia
c.       Muhammadiyah
d.      IMM
e.       Pembinaan Generasi Muda/Mahasiswa
4.      Empat sifat kader IMM (Hasil Semiloka IMM, 26-28 Desember 1986 di UMS dengan tema “Memantapkan Peran IMM sebagai Kader Bangsa dan Kader Umat”)
5.      Prinsip Gerakan IMM
a.       Deklarasi Solo (Kota Barat, Solo, 5 Mei 1965; Muktamar IMM)
b.      Deklarasi Garut(Garut, 28 Juni 1967 : Konferensi Nasional II IMM)
c.       Deklarasi Baiturrahman (Semarang, 25 Desember 1975 M)
d.      Deklarasi Kota Malang, Manifesto Kader Progresif (Malang, 31 Maret 2002)
e.       Maniesto Politik 40 Tahun IMM (Jakarta, 31 Maret 2004)
f.       Deklarasi Kota Medan

D.    Konstitusi dan Prosedur IMM
Yang menjadi konstitusiaonal dan proseduran IMM adalah sebagai berikut:
1.      AD/ART : mengatur seluruh hal penting dan fundamental dalam ikatan
2.      GBHO : garis kebijakan yang ikatan dalam menerjemahkan visi dan misi
3.      Kebijakan Pimpinan : Kebijakan atau Program Kerja yang sudah disusun oleh masing-masing level pimpinan dalam ikatan
4.      Aturan Buku : hasil keputusan Ikatan yang kaitan dengan hal-hal fundamental dan hanya bisa diputuskan dalam keputusan tertentu
5.      System Operasional Procedure (SOP): Hal-hal yang bersifat rahasia yang berkaitan dengan teknis. Dalam hal perkaderan SOP berbeda dengan SPI, SOP jauh lebih rijit dan tersistematis sekalipun hal tersebut merupakan terjemahan sistemik SPI.
6.      Hasil keputusan Musyawarah: termasuk dalam segala hal bentuk deklarasi, manifesto dan lainnya.
7.      Aturan Khusus: hal-hal yang belum diatur dalam konstitusi ikatan, namun diperlukan dalam hal-hal tertentu.

REALITAS PEMIKIRAN DAN GERAKAN IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
Menjelaskan dan memberikan pemaparan mengenai hasil temuan yang dilakukan dalam riset penulisan buku ini. Topik yang dibahas pun masih aspek-aspek yang cenderung menjadikan trilogy IMM sebagai bentuk pemahaman aplikatif yang dipahami oleh kader dalam menerapkan nilai ikatan menjadi lebih nyata. Persoalan pemikiran, gerakan, perkaderan bahkan ekspetasi kader terhadap IMM dalam menjalani gerakan menuju satu abad, juga menjadi pembahasan penting. Selain itu, pembahasan tentang yang membedakan penulisan buku ini dengan beberapa penulisan buku IMM yang lain.

A.    Embrio Identitas Kader
IMM adalah organisasi kader yang bergerak dibidang keagamaan, kemasyarakatan dan kemahasiswaan dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Keberadaan IMM tidak terlepas dari tubuh besar yang menaunginya yaitu Muhammadiyah. Segala yang ada dalam Muhammadiyah harus benar-benar dimengerti, difahami dan digerakkan oleh IMM. Sebab dari sinilah embrio identitas IMM bersumber dan bermuara.
Antara Pimpinan Muhammadiyah dengan organisasi ortomnya erat kaitannya dengan pandangan dan bangunan kepercayaan untuk sama-sama membangun dan memajukan persyarikatan Muhammadiyah, akan terjalin simbiosis mutualisme manakala pimpinan berasal dari kader ortom, sehingga saling mengenal budaya organisasi, kepemimpinan, gerakan dan lain-lain.
Jika dilihat faktanya, ternyata latar belakang IMM banyak berasal dari bukan keluarga Muhammadiyah. Adanya perbedaan latar belakang keluargs non-Muhammadiyah dapat menyebabkan tiga hal, yaitu adanya format perkaderan yang lebih menekankan pada pembasisan dan internalisasi nilai Muhammadiyah dan IMM, orientasi dakwah atau target dakwah Muhammadiyah, ekspetasi yang berlebihan terhadap kader IMM.
Keberadaan IMM lebih banyak dipengaruhi oleh informasi dari kampus, dengan data pendukung berupa survey dapat diambil informasi, yaitu keberadaan PTM yang dalam beberapa informasi maupun alat peraga pengenalan kampus untuk calon mahasiswa baru, memasukka IMM sebagai salah satu organisasi intra kampus, minimnya media sentral dari kalangan pimpinan IMM (ditunjukkan dengan pengaruh media yang sangat kecil terhadap keberadaan IMM).

B.     Segmentasi Pemikiran Kader IMM
Gejolak pemikiran dikalangan kader IMM secara umum terfragmentasi kedalam dinamika pemikiran kaum muda Muhammadiyah, ataupun pemikiran Islam secara umum. Sehingga berakibat pada corak pemikiran yang beragam dan plural. Hal ini terjadi karena dinamika pemikiran dan gerakan kalangan mahasiswa cenderung dialektis. Akibatnya, beragam pemikiran kader IMM, tentu saja berpengaruh kepada karakter dan corak gerakannya, bisa berdampak positif atau negatif disisi lain.
Diperlukannya benang merah pemikiran khas IMM. Muncullah wacana “Gen Pemikiran” tahun 2007. Yang kemudian mencoba untuk dibawa di dalam perkaderan formal. Berdasarkan penelitian gen pemikiran dapat diterima dikalangan kader, namun masih diperlukan pematangan konsepsi dan radius wacana agar mendapat koreksi dan masukkan dari seluruh kader IMM di Indonesia.
Data selanjutnya menyebutkan bahwa posisi berimbang antara IMM menuju pemikiran liberal dan pemikiran social, inilah yang membuat IMM cenderung lebih ketengah. Tidak terlalu liberal dan sosialis, dan tidak terlalu konservatif pula. Ditengah melebarnya liberalisasi dan sekulerisasi pemikiran yang kini menjadi kegelisahan kaum konservatif, sebenarnya Muhammadiyah mempu memberikan pemikiran alternative yang unggul dan melampaui, bukan sekedar mereproduksi ulang.      
Posisi Muhammadiyah sebagai gerakan tengah menyebabkan lebih lentur dalam menentukan pilihan, tanpa terjebak dalam pilihan yang ekstrim. Hendaknya sikap kaum moderat inilah yang bisa diambl oleh IMM secara kolektif-agar keberadaan manfaat gerakan ini bisa dirasakan oleh semua kader dan umat manusia.

C.     Trilogi dalam Diskursus Gerakan
Trilogi merupakan hal yang sangat prinsip dan vital. Maka dari itu kewajiban setiap kader untuk dapat memehami, menerjemahkan dan menggerakkan trilogy. Membawa pemahaman trilogy menjadi karakteristik gerakan lebih sulit di banding dengan menjadikan trilogy menjadi karakter pribadi diri kader ikatan. Namun, tentunya tidak semua kader dapat melakukan proses tersebut.   
Kesadaran terhadap trilogy (religiusitas, intelektualitas, humanitas), menjadi kebutuhan sistemik dalam tubuh ikatan. Sebab hal tersebut tidak hanya mengatur tentang nilai dan prinsip perjuangan dalam organisasi tapi juga mengatur wujud personal profil seorang kader ikatan. Akibatnya, pada aspek yang lebih luas dalam alam nyata yang penuh dialektika dan ragam kepentingan tertentu, kadangkala menyebabkan keretakan aspek soerang ideal dan realita.

D.    Menuju Satu Abad: Sebuah Ekspetasi Gerakan Intelektual
IMM yang sudah memasuki setengah abad, masih memiliki banyak persoalan internal yang masih perlu dibenahi, persoalan masih berkutat dengan masalah rumah tangga. Berbagai harapanpun menyeruak agar menjadi gerakan IMM yang jauh lebih progresif, salah satu harapan para kader IMM menuju satu abad adalah sebagai gerakan intelektual.
Sebagai sebuah gerakan intelektuanl, membutuhkan berbagai infrastruktur mulai dari tersedianya berbagai wadah pengembangan intelektual, kader inti yang berfikir futuristic, kajian dan riset sebagai basis data, dan lain sebagainya, tentunya dalam mewujudkan hal ini harus ada respon positif dari segenap pimpinan dan kader IMM.

DARI TRILOGI MENUJU METOGOLOGI GERAKAN
      Dalam bab ini menjelaskan dan memberikan corak dan cara pandang trilogy IMM dari aspek yang selama ini dianggap nilai agung yang menjadi metodologi gerakan. Sekalipun dalam bab ini akan lebih banyak mengeksplorasi dari gagasan kader IMM yang sebelumnya ada, agar tercipta keberlangsungan pemikiran dan gerakan. Cara seperti inilah menjadikan IMM menjadi lebih berbeda dengan organisasi yang lain: bahwa proses perkaderan merupakan hal yang sangat urgen dalam memahami nilai-nilai universal dalam tubuh IMM, serta bab ini menjadi konsepsi teoritik mengenai gen pemikiran sudah didiskusikan dan didialogkan dengan gerakan.

KONSEPSI DAN POLA KERJA GEN PEMIKIRAN IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
A.    Relasi Gen Pemikiran dan Trilogi IMM
B.     Fase Gen Pemikiran
1.      Fase Internalisasi
Merupakan fase awal pengenalan dan pemahaman gen pemikiran, yang memposisikan kader sebagai objek dan subjek. Dianggap objek, karena kader awal yang baru mengikuti IMM, harus dilakukan doktrinasi nilai ikatan, arahan dan bentuk perkaderan yang sangat fundamental dalam IMM dan Muhammadiyah. Dianggap subjek karena yang melakukan indktrinasi nilai tersebut merupakan kader IMM, yang sudah dianggap mapan secara kapasitas perkaderan, pemikiran dan karakter agar proses ini bisa berlangsung dengan baik.
Fase ini sangat urgen karena berakibat panjang dari segi pemikiran, pemahaman, gerakan; entah militant dan progresif, atau oportunitas dan kabur. Fase ini terbagi menjadi dua, pertama gen induk yang berisi ke-Tauhidan, Ke-Muhammadiyah-an, ke-IMM-an, kedua adalah gentambahan berisi tentang alat analisa yang bersifat teoritik.
2.      Fase Motorik
Fase ini mengarahkan kader pada bentuk gerakan yang lebih bersifat factual dan tranformatif. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya ijtihad baru dalam format gerakan ikatan, yang mampu melahirkan jawaban atas persoalan masyarakat yang selama ini menjadi benang kusut yang begitu sulit dicari penyelesaiannya. Merupakan fase puncak didataran struktur kepemimpinan ikatan, yang memposisikan diri sebagai organisasi yang mampu memadukan antara nilai ikatan dan masalah fundamental disekelilingnya.
3.      Karakter IMM
Fase ini mengarah pada diaspora kader kedalam sector strategis dan/atau jenjang kepemimpinan yang selanjutnya dalam IMM, dengan tanpa menghilangkan identitas dirinya sebagai kader ikatan. Nilai gerakan atau ideology gerakan tetap menjadi pedoman dakam menganalisis dan menghadapi lingkaran struktur dalam melakukan diaspora. Sedangkan kemampuan individu, tetap menjadi ruang untuk perlu selalu di asah, sehingga mampu dipahami kader dibawahnya sebagai regenerasi dalam organisasi.  

C.     Creative Minority: Sebuah Alternatif Laboratorium Kader
Hasil Tarik menarik antara mayoritas dan minoritas, besar dan kecil, menghasilkan creative minority yang sering dilakukan oleh mereka yang minoritas. Kelompok creative minority ini berjalan alamiah melalui berbagai cara yang bisa menuangkan pikiran, gerakan, perjuangan dan nilai-nilai agara bisa mendapat porsi yang sama dengan yang mayoritas. Creative minority lahir dari beberapa forum diskusi terbatas yang dalam beberapa hal juga diisiasi oleh para tokoh.
Pemahaman mengenai creative minority ini, bisa kita pahami sebagai study club, limited group, kelompok diskusi: yang memiliki peserta terbatas namun dapat mempengaruhi atau berdampak sejajar dengan yang mayoritas. Dalam ikatan, penggunaan creative minority dimaksudkan dalam lembaga semi otonom, kelompok tertentu yang berisi kader ikatan. Contohnya adalah, MIM Indegious School, Kauman Institute, Nyi Walidah Institute dan lain-lain. Dengan adanya creative minority, tidak hanya menunjang oemikiran kader namun juga berkaitan dengan skill kader yang nantinya menjadi kekhassan karakter tersendiri.
Arah perkaderan dapat dilihat di Gambar 33 dalam buku. Menunjukkan secara keselururhan mengenai proses dan arah perkaderan dalam gen pemikiran, yang haraannya bisa tercapai karakteristik, individu atau gerakan IMM seperti pemaparan sebelumnya.
Creative minority dalam gen pemikiran berada pada perkaderan penunjang yang bersifat tetap, pelaksanaannya maupun keberadaan lembaganya. Peran creative minority menentukan peranan yang sangat penting, mengingat biasanya lembaga ini diisi oleh kader yang berada struktur kepengurusan, post strukturan dan laumni. Sehingga keberadaan lembaga lebih dinamis dan dialektis.

D.    Pola Kerja Gen Pemikiran
Pola kerja gen pemikiran terdiri dari tiga fase, tiga fase terdiri dari beberapa bagian, gen pemikiran ini sudah dimulai sebelum dan sesudah perkaderan formal. Dan diharapkan minimal dilaksanakan dalm jangka “tiga tahun”, tidak singkat dan terburu-buru agar mencapai target optimal. Pergantian estafet kepemimpinan tidak menjadi hambatan mengingat hakikat dari organisasi perkaderan dan pergerakan adalah mampu melanjutkan estafek kepengurusan, supaya gerakan dimasa yang akan datang lebih massif.
Dalam melaksanakan masing-masing tahapan dan gen pemikiran melalui renacana stretegis (renstra) dalam level pimpinan, caranya bisa dilakukan sebagai berikut:
1.      Sebelum dan pasca DAD (Komisariat): merupakan fase pertama (fase internalisasi), dimana sebelum menjadi pimpinan (1 tahun) dan menjabat sebagai pimpinan (1 tahun). Yang dihitung dalam gen pemikiran adalah fase menjabat sebagai Pimpinan Komisariat.
2.      Pimpinan Cabang: sebelum atau sesudah dilantik menjadi Pimpinan Cabang.
3.      Pasca Cabang (fase ketiga): menunjukkan karakter yang dimiliki baik personal maupun institusional.
Selanjutnya buku ini memaparkan tiga fase gen pemikiran beserta prasayaratnya:
1.      Fase Internalisasi
Fase ini diarahkan untuk kader baru setelah selesai mengikuti perkaderan formal DAD (follow up), dengan materi yang diarahkan pada hal bersifat fundamental. Mekanisme internalisasi dilaksankan disela pelaksanaan materi kajian inti dan TA/TO dengan beberapa syarat pelaksanaan dan syarat peserta dan fasilitator.
Peserta dalam fase ini tida diperkenankan menjadi peserta kegitan IMM yang bersifat spesialisasi seperti LID, LIM dan lain-lain. Karena masih berada di dataran komisariat dan menghindari adanya lompatan logika dan fase gen pemikiran
2.      Fase Motorik/Implementasi
Fase transformasi, agenda atau program diarahkan untuk implementasi dari fase internalisasi. Dengan pihak yang terlibat yaitu PK, Korkm maupun PC, dengan target agenda sebagai berikut:
a.       Advokasi: diarahkan pada penyingkapan terhadap isu yang berkembang, dianalisis dan dikaji yang kemudian menghasilkan pandangan dan sikap tertentu.
b.      Gerakan kota dan desa: diarahkan pada masalah yang berada di kota dan desa, seperti perlindungan terhadap kaum miskin kota, masyarakat pedesaan dan aliansi takstis dan strategis. Yang diharapkan melahirkan metode dakwah perkotaan dan pedesaan.
Pada fase ini terdapat optimalisasi creative minority, agar berjalan intens, salah satu cara dengan perwujudan seperti penyelenggaraan “sekolah pemikiran” dengan masa yang sudah ditentukan. Seperti Sekolah IMMawati selama satu tahun, MIM selama tiga bulan. Dan untuk lebih optimalnya dilaksanakan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang sudah ada, baik syarat ketentuan umum maupun khusus.
3.      Karakter IMM
Merupakan fase pembentukan identitas kader IMM, sehingga ketika didiaspora keadaan sector strategis maupun structural IMM diatasnya. Setidaknya produk kader IMM mempunyai kemampuan 1) paham konsep praksis, 2) analisa tajam, 3) paradigma satu arah.




4 komentar:

  1. Terima kasih telah meresume buku saya.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Mohon maaf ka, kalo mau pesen bukunya. Itu gimana ya ka caranya?? Terimakasih

    BalasHapus
  4. Masyaallah, resume ini sangat bermanfaat. Jazakumullah khoiron 🙏

    BalasHapus